Kamis, 15 Oktober 2009

Metode Mendidik Anak

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata
kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:
“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah)
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar.” (Qs. Luqman [31]: 13).


Ayat ini merupakan penggalan kisah tentang nasihat-nasihat
Luqman kepada putranya. Karena ada kisah tersebut, surat
ini dinamakan surat Luqman. Secara umum, surat Luqman
termasuk surat Makiyyah.*1) Seperti layaknya surat
Makiyyah, surat ini lebih menitikberatkan pada tema-tema
akidah, mengenai wahdâniyyah (keesaan Allah SWT),
kenabian, dan Hari Kebangkitan.*2)

Pada ayat ini Allah SWT mengingatkan nasihat-nasihat bijak
Luqman. Nasihat yang amat bernilai itu diawali dengan
peringatan menjauhi perbuatan syirik.


Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Wa idz qâla luqmân li [i]bnih wahuwa
ya’izhuh (Ingatlah ketika Luqman berkata kepada
anaknya pada waktu ia memberi pelajaran kepadanya).

Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa Luqman yang
dimaksud dalam ayat ini. Sebagian mufassir menyatakan, ia
adalah cicit Azar (bapak Nabi Ibrahim as). Sebagian lagi
berpendapat, ia adalah keponakan Ayyub dari saudara
perempuannya. Yang lainnya menyebutkan, ia adalah sepupu
Ayyub dari bibinya.*3) Adapun menurut Ibnu Katsir, ia
adalah Luqman bin Anqa bin Sadun.*4) Para mufassir juga
berbeda pendapat tentang asal-usul, tempat tinggal, dan
pekerjaannya.

Tidak bisa dipastikan pendapat mana yang paling benar.
Sebab, al-Qur’an tidak merinci siapa sesungguhnya
Luqman yang dimaksud. Sebagai kitab yang berfungsi menjadi
hudâ wa maw’izhah (petunjuk dan pelajaran) bagi
manusia, penjelasan tentang hal itu tidak terlampau
penting. Yang lebih penting justru pelajaran apa yang
dapat dipetik dari kejadian itu.

Di dalam al-Qur’an banyak kisah yang hanya
diceritakan peristiwanya, tanpa dirinci waktu, tempat
terjadinya, kronologi dan pelakunya; layaknya buku
sejarah. Demikian pula dengan kisah Luqman dalam ayat ini.
Al-Qur’an hanya memberitakan bahwa dia termasuk
orang yang mendapat limpahan al-hikmah dari-Nya. Allah SWT
berfirman:

Sesungguhnya telah Kami telah memberikan hikmah kepada
Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah.”
(Qs. Luqman [31]: 12).

Secara bahasa al-hikmah berarti ketepatan dalam ucapan dan
amal.*5) Menurut ar-Raghib, al-hikmah berarti mengetahui
perkara-perkara yang ada dan mengerjakan hal-hal yang
baik.*6) Menurut Mujahid, al-hikmah adalah pemahaman,
akal, dan kebenaran dalam ucapan selain kenabian.*7)
Hikmah dari Allah SWT bisa berarti benar dalam keyakinan
dan pandai dalam dîn dan akal.*8)

Pendapat agak berbeda dikemukakan Ikrimah, as-Sudi, dan
asy-Sya’bi. Mereka menafsirkan al-hikmah sebagai
kenabian. Karena itu, menurut mereka, Luqman adalah
seorang nabi.*9)Pendapat ini berbeda dengan jumhur ulama
yang berpandangan bahwa dia seorang hamba yang salih,
bukan nabi.*10)

Kendati bukan nabi, Luqman juga menempati derajat paling
tinggi. Sebab, manusia yang derajatnya paling tinggi
adalah orang yang kâmil fî nafsih wa mukmil li ghayrih,
yakni orang yang dirinya telah sempurna sekaligus berusaha
menyempurnakan orang lain. Kesempurnaan Luqman ditunjukkan
dalam ayat sebelumnya, bahwa dia termasuk hamba Allah SWT
yang mendapat hikmah dari-Nya. Adapun upayanya untuk
membuat orang lain menjadi sempurna terlihat pada
nasihat-nasihat yang disampaikan kepada putranya.*11)

Dalam ayat itu disebutkan wa huwa ya’izhuh. Kata
ya’izh berasal dari al-wa’zh atau
al-‘izhah yang berarti mengingatkan kebaikan dengan
ungkapan halus yang bisa melunakkan hati.*12) Karena itu,
dalam mendidik anaknya, Luqman menempuh cara yang amat
baik, yang bisa meluluhkan hati anaknya sehingga mau
mengikuti nasihat-nasihat yang diberikan.

Yâ bunayya lâ tusyrik billâh (Hai anakku, janganlah engkau
mempersekutukan Allah). Luqman memanggil putranya
menggunakan redaksi tasghîr: ya bunayya. Hal itu bukan
untuk mengecilkan atau merendahkan, namun untuk menunjukan
rasa cinta dan kasih sayang kepada anaknya.*13) Dengan
panggilan seperti itu, diharapkan nasihat yang disampaikan
lebih mudah diterima.

Nasihat pertama yang disampaikan kepada putranya itu
adalah la tusyrik billâh (jangan mempersekutukan Allah).
Mempersekutukan Allah adalah mengangkat selain Allah SWT
sebagai tandingan yang disetarakan atau disejajarkan
dengan-Nya. Ketika Rasulullah Saw ditanya oleh salah
seorang sahabatnya, Wail bin Abdullah ra., mengenai dosa
apa yang paling besar, beliau menjawab:

Syirik, yakni kamu menjadikan tandingan bagi Allah. [HR.
an-Nasa’i].

Larangan syirik ini berlaku abadi. Bahkan tidak seorang
rasul pun yang diutus Allah SWT kecuali menyampaikan
larangan tersebut (Lihat: Qs. az-Zumar [39]: 65).

Inna asy-syirk la zhulm ‘azhîm (Sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang
besar). Dalam nasihatnya, Luqman tidak saja melarang
syirik, namun juga menjelaskan alasan dilarangnya
perbuatan tersebut.*14)

Secara bahasa azh-zhulm (kezaliman) berarti menempatkan
sesuatu tidak pada tempatnya.*15) Syirik disebut azh-zhulm
karena menempatkan Pencipta setara dengan ciptaan-Nya,
menyejajarkan Zat yang berhak disembah dengan yang tidak
berhak disembah,*16) atau melakukan penyembahan kepada
makhluk yang tidak berhak disembah.817) Banyak ayat
al-Qur’an yang menyebut perbuatan syirik sebagai
azh-zhulm (Lihat, misalnya: Qs. al-An’âm [6]:
82[/b]).

Selain kezaliman besar, dalam ayat lain, syirik juga
disebut sebagai kesesatan yang nyata (Qs. Saba’
[34]: 24) dan amat jauh (Qs. an-Nisâ’ [4]: 116).
Karena itu, wajar jika syirik dinilai sebagai dosa
terbesar dan tidak ada dosa yang melebihinya. Jika
dosa-dosa lain, manusia masih bisa berharap mendapat
ampunan dari Allah SWT, tidak demikian dengan syirik.
Siapa pun yang telah melakukan perbuatan syirik, dan tidak
bertobat, lalu meninggal dalam kesyirikan, maka tidak akan
diampuni Allah SWT (Qs. an-Nisa’ [4]: 48, 116).
Lebih dari itu, syirik akan menyebabkan terhapusnya semua
amal yang dikerjakan manusia (Qs. az-Zumar [39]: 65).
Pelakunya diharamkan masuk surga (Qs. al-Mâ’idah
[5]: 72), sebaiknya ia kekal di dalam neraka (Qs.
al-Bayyinah [98]: 6). Oleh karenanya, syirik menyebabkan
penyesalan yang tak terbayarkan bagi pelakunya (Qs.
al-Kahfi [18]: 42).


Meneladani Nasihat Luqman

Orangtua yang bijak pasti menginginkan anak yang
dicintainya tumbuh menjadi manusia salih dan beroleh
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Keinginan itu tentu
harus disertai dengan upaya untuk mewujudkannya. Dalam hal
ini, Luqman bisa dijadikan sebagai teladan.
Nasihat-nasihat yang diberikan kepada anaknya, jika
dikerjakan, bisa mengantarkan anaknya meraih keinginan
mulia tersebut.

Secara keseluruhan, ada dua perkara penting yang
dinasihatkan Luqman kepada putranya. Pertama, menyangkut
persoalan akidah. Luqman menasihati putranya agar tidak
mempersekutukan Allah WT. (ayat 13). Ia pun mengingatkan
anaknya bahwa Allah SWT. Yang Mahatahu atas segala
sesuatu, di langit maupun di bumi, akan membalas semua
amal perbuatan manusia, seberat apa pun amal perbuatan itu
(ayat 16).

Kedua, berkenaan dengan pelaksanaan amal yang menjadi
konsekuensi tauhid, baik menyangkut hubungan manusia
dengan [i]Al-Khâliq, dengan dirinya sendiri, maupun dengan
sesama manusia. Pada ayat 17, Luqman memerintahkan anaknya
untuk mendirikan shalat (hubungan manusia dengan
Al-Khâliq), melakukan amar makruf nahi mungkar (hubungan
manusia dengan sesamanya), dan meneguhkan sifat sabar
dalam jiwanya (hubungan manusia dengan dirinya sendiri).

Luqman juga mengingatkan anaknya untuk menjauhi
larangan-larangan Allah SWT. Sifat sombong dan perilaku
angkuh adalah di antara perbuatan yang harus dijauhi (ayat
18). Sebaliknya, sifat yang harus dilekatkan adalah
menyederhanakan langkah dan melunakkan suara (ayat 18).

Dapat disimpulkan, semua nasihat Luqman itu berorientasi
pada keselamatan dîn anaknya. Ia menginginkan anaknya
menjadi manusia yang taat kepada Tuhannya dalam seluruh
aspek kehidupan. Hanya dengan jalan itu kebahagiaan dunia
dan akhirat dapat diraih.

Jika diperhatikan kisah-kisah dalam al-Qur’an, hal
yang sama juga dilakukan para nabi dan rasul. Mereka semua
amat menginginkan anaknya menjadi orang yang berpegang
teguh kepada dîn yang haq, seperti yang dikabarkan Allah
SWT:

Ibrahim mewasiatkan ucapan kepada anak-anaknya, demikian
pula Ya’qub. (Ibrahim berkata), “Hai
anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini
bagi kalian. Karena itu, janganlah kalian mati kecuali
memeluk agama ini.” (Qs. al-Baqarah [2]: 132).

Patut dicatat urutan perkara yang dinasihatkan Luqman.
Pertama kali yang ia nasihatkan adalah perkara akidah. Ia
menginginkan anaknya lurus akidahnya. Setelah itu, baru
menyangkut perkara amaliah. Pilihan ini tentu bukan suatu
kebetulan. Sebab, dari berbagai sisi, akidah memang harus
didahulukan.

Akidah merupakan penentu status manusia, tergolong sebagai
orang Mukmin atau kafir. Orang yang meyakini akidah yang
haq, yang berasal dari Allah SWT, adalah orang Mukmin.
Sebaliknya, orang yang mengingkari akidah tersebut
tergolong sebagai orang kafir. Pada gilirannya, perbedaan
status ini akan menentukan nasib mereka, memperoleh
bahagia atau mendapat celaka. Di akhirat kelak,
orang-orang kafir akan menjadi penghuni neraka (Qs.
al-Bayyinah [98]: 6), sebaliknya orang-orang Mukmin dan
beramal salih akan menjadi penduduk surga (Qs. al-Bayyinah
[98]: 8).

Keyakinan pada akidah yang benar juga menjadi syarat
diterimanya amal. Allah SWT hanya menerima amal yang
dikerjakan orang-orang Mukmin. Sebaliknya, amal perbuatan
orang-orang kafir sama sekali tidak dinilai pada Hari
Kiamat kelak (Qs. al-Kahfi [18]: 105). Semua amalnya pun
terhapus dan sia-sia, baik di dunia maupun di akhirat (Qs.
al-Baqarah [2]: 217; Qs. at-Taubah [9]: 69), dan laksana
debu yang diterbangkan (Qs. al-Furqan [25]: 23). Itu
berarti, perbaikan amal perbuatan tanpa didahului dengan
penerimaan pada akidah yang benar tidak akan berguna.

Selain itu, perbuatan manusia juga sangat ditentukan
akidahnya. Orang yang meyakini akidah Islam akan terikat
dengan syariah. Sebaliknya, orang yang mengingkari akidah
Islam dipastikan akan mengabaikan ketetapan syariah. Oleh
karenanya, siapa pun yang hendak memperbaiki perilaku
seseorang (ishlâh al-a’mâl), harus meluruskan
akidahnya (tashhih al-‘aqîdah) terlebih dahulu.

Jika dicermati dalam al-Qur’an, para nabi dan rasul
juga melakukan hal yang sama. Mereka mendahulukan seruan
akidah sebelum lainnya. Demikian juga dengan Rasulullah
Saw. Yang pertama kali beliau dakwahkan ke tengah
masyarakat Jahiliah adalah perkara akidah. Ayat-ayat yang
turun di awal dakwahnya juga menekankan pada akidah.
Adapun ayat-ayat tentang hukum kebanyakan turun di
Madinah, pada saat akidah umat sudah benar-benar mapan.

Rasulullah Saw juga memerintahkan para sahabatnya untuk
menyerukan kepada akidah terlebih dulu sebelum menjelaskan
ketetapan hukum. Ketika beliau mengutus Muadz bin Jabal
ra. ke Yaman yang mayoritas penduduknya Ahlul Kitab,
beliau memerintakan agar perkara pertama yang didakwahkan
kepada mereka adalah mengesakan Allah SWT, baru setelah
itu dijelaskan tentang kewajiban mendirikan shalat lima
waktu dalam sehari semalam serta membayar zakat yang
diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada
orang-orang miskin mereka [HR. Bukhari, Muslim,
at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Abu Dawud].

Dalam pendidikan anak, Rasulullah Saw telah memerintahkan
para orangtua untuk menekankan pendidikan akidah. Ibnu
Abbas menuturkan bahwa Nabi Saw pernah bersabda:

Ajarkan kalimat Lâ ilaha illâ Allâh kepada anak-anak
kalian sebagai kalimat pertama. [HR. al-Hakim].

Abd ar-Razaq meriwayatkan bahwa para sahabat menyukai
untuk mengajari anak-anak mereka kalimat Lâ ilaha illâ
Allâh sebagai kalimat yang pertama kali bisa mereka
ucapkan secara fasih sampai tujuh kali sehingga kalimat
itu menjadi yang pertama-tama mereka ucapkan.*18)

Demikianlah teladan dari orang-orang bijak dalam mendidik
anaknya. Anda juga menginginkan anak Anda meraih bahagia
dan surga? Ikutilah jejak mereka! Wallâh a’lam bi
ash-shawâb. [Majalah al-wa’ie, Edisi 59]

Catatan Kaki:

1. Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, IV/233, Dar al-Fikr,
Beirut. 1983.

2. Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, II/446, Dar al-Fikr,
Beirut. 1996.

3. Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, III/421, Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993.

4. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm,
III/1446, Dar al-Fikr, Beirut. 2000.

5. Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, II/451.

6. Shihab al-Din al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XI/82, Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993.

7. Aath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl
al-Qur’ân, xi/208, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.
1992.

8. Abd al-Haqq al-Andalusi, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr
al-Kitâb al-‘Azîz, IV/347, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
Beirut. 1993; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân, IV/41, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.
1993.

9. Abu al-Hasan al-Naysaburi, al-Wasîth fî Tafsîr
al-Qur’ân al-Majîd, III/442, Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, Beirut. 1994; Abu ‘Ali al-Fadhl,
Majma’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân, III/491,
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1994.

10. Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm,
III/ 1445; Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân fî
Maqâshid al-Qur’ân, X/281, Idarat Ihya’
al-Turats al-Islami, Qathar. 1989

11. Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fi Ma’âni
at-Tanzîl, III/398, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995

12. Wahbah az-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, XI/143, Dar
al-Fikr, Beirut. 1991. ar-Raghib al-Ashfahani,
Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, hlm. 564,
Dar al-Fikr, Beirut., tt.

13. Shihab al-Din al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, xi/84;
Wahbah az-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, XI/143.

14. Burhan al-Din al-Baqa’i, Nazhm ad-Durar fî
Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar, VI/13, Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, Beirut. 1995.

15. Mahmud Hijazi, at-Tafsîr al-Wâdhîh, III/47, an-Nashir,
1992.

16. Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, III/398.

17. Fakhr ad-Din al-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh
al-Ghayb, XIII/128, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.
1990.

18. Muhammad Suwaid, Mendidik Anak bersama Nabi, terj.
Salafudin A. Sayyid, hlm. 133, Pustaka Arafah, Solo. 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar