Selasa, 27 Oktober 2009

Awas, Jangan Terlalu Keras Mendidik Anak !!!!

Pernah marah atau jengkel pada anak ? Pasti pernah. Apakah anda seorang ibu, ayah, nenek, kakek, guru bahkan sekedar om tante sekalipun; anda adalah manusia yang punya emosi. Jadi jika anda sempat jengkel karena anak tak menuruti permintaan anda, atau anda jadi marah ketika anak mulai membangkang dan anda jadi kecewa karena anak berbuat sesuatu yang sangat menyayat hati, itu pertanda anda sangat sayang pada anak tersebut.
Marah Tanda Sayang ?

Anthony E. Wolf, PhD dalam buku The Secret of Parenting mengungkapkan bahwa dalam diri tiap manusia itu ada 2 sisi. Sisi pertama, yang ia sebut baby-self, tetap ada pada anak manusia hingga dia dewasa sekalipun. Baby-self ingin relax, seenaknya sendiri, biarpun hal itu membuat orang lain marah-marah. Sebaliknya Mature-self, menunjukkan sikap responsible yang tinggi dan akan tampak nyata ketika anak beranjak dewasa atau ketika anak berada diluar pengawasan/jangkauan orang yang paling ia cintai.

Anthony menjelaskan bahwa tantangan mendidik anak (yang menandakan rasa sayang anda pada anak) biasanya terletak pada 3 hal. Ketiga hal tersebut adalah :

1. "Lakukan !!!" (Menyuruh anak-anak melakukan sesuatu, yang mereka tak mau melakukannya).

2. Stop !!! (Menyuruh anak-anak berhenti melakukan sesuatu yang ia ingin terus melakukannya (karena berbahaya misalnya, atau karena hal itu tidak baik baginya, atau karena dia harus mengerjakan hal lain).

3. Tidak !!! (Mencegah anak mendapatkan/melakukan apa yang ia inginkan)

Ketiga hal tersebutlah yang paling sering mendapat reaksi negatif dari anak-anak dan juga orang dewasa yang sedang dalam baby-self mode on :)

Ya, emosi negatif yang anda rasakan adalah buah dari rasa sayang anda terhadap anak yang anda didik. Anda ingin memerintah dia berbuat sesuatu karena anda ingin dia belajar melakukan sesuatu yang berguna. Anda meminta dia berhenti melakukan sesuatu karena anda tak ingin dia tumbuh menjadi anak yang tak baik. Anda melarang dia dari sesuatu karena anda ingin melindunginya. Maka ketika keinginan positif anda mendapat reaksi negatif dari anak; wajarlah jika anda mulai emosi. Marah, jengkel, kecewa adalah beberapa tandanya.
Yang anak lihat dari anda adalah bahasa tubuh anda, mimik wajah anda dan percayalah mereka bisa merasakan bahkan menebaknya. Maka ketika kemarahan itu meluap dan anda merasa perlu menghukum lewat omelan, menceramahi bahkan memukul si anak, ada baiknya anda berhati-hati. Karena efek dari hukuman bukanlah saat itu saja, tetapi bisa tersimpan bertahun-tahun hingga anak menjadi dewasa.
Masalahnya, anak-anak tidak tahu dan bahkan bingung jika dia dilarang, diperintah bahkan dimarahi itu bentuk tanda sayang anda pada dia. Apalagi jika anda menyatakannya pada dia, “Mama larang kamu itu karena mama sayang kamu” (padahal yang dilarang itu hal yang dia anggap mengasyikkan, misalnya nonton TV terlalu dekat). “Papa minta kamu berhenti lompat-lompat diatas tempat tidur sekarang karena papa sayang sama kamu !!!!” (padahal anak mana sih yang tak suka lompat-lompat diatas kasur”. Bahkan biarpun dijelaskan sekalipun, ketika anda menjelaskan alasan mengapa anda melarang dia berbuat sesuatu, misalnya karena dia bisa jatuh, kelak dia akan melakukan hal yang sama sekali lagi dan kelak anda akan bilang “Kan sudah mama jelasin, nonton TV terlalu dekat itu gak baik buat mata, kok masih aja nonton TV dekat sekali”.
Menurut John Gray PhD dalam buku Children Are From Heaven, anak dibawah umur 9 tahun belum tahu benar dan salah. Maka jangan harap mereka ingat dan faham betul jika dilarang sesuatu, dan jangan marah jika mereka melakukan apa yang anda larang di lain waktu walaupun saat anda marah-marah ketika dia melakukannya dia akan berhenti sebentar. Mereka juga belum punya kematangan berpikir untuk memahami bahwa jika dia dimarahi itu tanda disayang, karena jika orang tua marah sikapnya berlawanan dengan sikap sayang. Mereka tidak tahu bahwa dibalik kemarahan orangtua, ada rasa sayang yang terselip.

Zaman Berubah, Anak-anak pun Ikut Berubah Pula
Banyak orang yang menganggap cara terbaik mendidik anak adalah menghukumnya ketika dia berbuat salah. Dan ini sering didapatkan pada metode pendidikan orang-orang jaman dulu. Hasilnya bagus, karena setelah dihukum anak tampak menurut. Bahkan orangtua kita dan mungkin anda sendiri juga pernah dididik keras seperti itu dan ternyata toh hasilnya saat dewasa fine-fine saja. Tetapi anak generasi sekarang berbeda karena zaman telah berubah.
Rudolf Dreikurs sempat membuat teori yang menjelaskan mengapa zaman yang berubah bisa mempengaruhi anak-anak juga. Banyak yang berpendapat bahwa mungkin anak-anak generasi sekarang berubah karena banyaknya tayangan negatif di TV, lagu-lagu yang syairnya tak baik, atau karena banyaknya anak-anak hasil broken homes. Walaupun hal-hal diatas ada benarnya, teori dari Dreikurs menarik juga untuk dipahami.
Perubahan besar yang terjadi di dunia akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sikap tunduk dan patuh jarang sekali ditemukan. Dulu wanita yang dianggap baik oleh masyarakat adalah wanita yang tinggal dirumah, patuh dan tunduk pada suami, mengurus anak-anak dan rumah tangga. Maka dulu keputusan final terletak pada keputusan ayah sebagai kepala keluarga. Dengan adanya feminisme dimana-mana, banyak wanita yang berani melawan suami bahkan meminta cerai sebagai bentuk kebebasan bagi wanita. Suami tak mudah lagi mengontrol istrinya. Dreikurs menyebutkan yang kurang lebih : “Jika ayah tak bisa lagi mengontrol istrinya, maka keduanya (ayah dan ibu) tak akan mudah mengontrol anak-anaknya”.
Zaman dulu, jika tak ingin kehilangan pekerjaan ayah harus tunduk pada keputusann boss-nya, biarpun keputusan tersebut berbeda dengan ide brillian sang ayah. Sekarang, orang dengan mudah berganti pekerjaan atau perusahaan yang mendukung kreatifitas dan ide-idenya agar bisa bekerja dengan nyaman. Dulu masih banyak tekanan pada kelompok-kelompok minoritas, sekarang mereka beramai-ramai menuntut haknya. Dulu anak-anak dibawah umur harus ikut bekerja membantu orangtua dan dianggap wajar; sekarang anak-anak yang bekerja dibawah umur akan dianggap illegal. Beberapa contoh perubahan tersebut secara langsung dan tak langsung mempengaruhi cara berpikir dan bersikap anak-anak yang pelan-pelan tapi mantap membuat mereka sering membangkang, melawan dan mengecewakan orangtua.
Karena itulah anak-anak zaman dulu akan tunduk patuh pada perintah orangtuanya dan jika dihukum akan menurut, mereka melihat model dan contoh disekitarnya dan tumbuh dari situ. Anak-anak sekarang jika tak menurut dan dihukum, malah akan membangkang. Atau minimal mereka menurut tetapi cepat atau lambat perbuatan yang serupa terulang lagi sehingga orangtua akan jengkel dan menghukum lagi. Berapa sering kita mendengar anak-anak yang dulunya manis dalam arti menurut jika diperintah (karena takut dihukum jika tak menurut); akhirnya tumbuh menjadi remaja membandel atau bermasalah dan tak mau lagi menuruti perintah ataupun nasehat orangtuanya. Karena itu berhati-hatilah dalam menghukum anak karena ada 4 efek negative dari hukuman bagi anak yang akan terbawa hingga dewasa.


Empat Efek Negatif dari Hukuman
Yup, anak-anak semakin lama semakin berubah seiring dengan perubahan zaman. Anak zaman dulu jika sering dihukum, dia akan tumbuh menjadi anak yang taat hingga dewasa. Akibatnya mereka menerapkan metode pendidikan model keras seperti ini pada anak-anak mereka juga; karena mereka anggap itulah yang berhasil.
Namun sebetulnya, ada empat efek negatif dari hukuman. Hukumlah seorang anak, maka mungkin dia akan menurut, tetapi hati-hati karena empat efek negatif hukuman bisa terbawa hingga dia dewasa. Lebih parah lagi, jika anda sering menghukum anak dibawah usia 9 tahun, maka ketika dia mulai berusia 9 tahun keatas dan akhirnya memasuki usia remaja; dia bisa tumbuh menjadi anak bandel dan menjadi remaja bermasalah.
John Gray PhD dalam bukunya Children are From Heaven menyebutkan bahwa dibawah usia 9 tahun anak-anak masih belum punya kesadaran diri, belum ingin tahu apa tujuan hidup dia, belum tahu salah dan benar (yang dalam islam disebut belum mumayyiz). Maka fondasi pendidikan anak harus kuat pada usia dibawah 9 tahun ini. Dibawah usia 9 tahun, anak masih sangat amat tergantung pada orangtuanya, biarpun sudah mulai bersekolah. Setelah mulai memasuki usia remaja, dia mulai melihat dirinya sendiri dan mencari jati dirinya. Biasanya diusi 9-10 tahun anak-anak mulai malu jika orangtuanya melakukan sesuatu di depan umum yang dulunya dianggap wajar misalnya jika dulu sang mama suka bernyanyi bersama si anak saat jalan-jalan, maka kini si anak akan mulai malu. Jadi dia akan sadar diri bahwa ada orang lain yang memperhatikan, dan dia tak ingin jadi malu akhirnya. Pada usia-usia remaja, anak mulai membandingkan sisi positif dan negatif dari didikan orangtuanya dan apa yang ia dapat diluar. Di usia remaja inilah ada tekanan kuat dari lingkungan pergaulan anak; maka salah didik pada 9 tahun pertama akan menyebabkan anak remaja jadi membandel dan nakal, atau tak peduli lagi pada nasehat dan perintah orangtuanya.
Nah salah didik disini adalah salah metode saja karena zaman telah berubah maka metode pendidikan dulu belum tentu pas dengan zaman sekarang. Metode pendidikan zaman dulu yang sering diterapkan adalah menghukum anak jika berbuat salah. Padahal jika hal itu diterapkan saat ini ada efek negatifnya.
Dalam buku klasik Positive Discipline, Jane Nelsen Ed. D menyebutkan ada empat efek negatif dari hukuman yang akan mempengaruhi pikiran dan sikap mereka :
1. Tersinggung : “Ini gak adil. Orang dewasa gak bisa dipercaya”
2. Balas dendam : “Ok mereka menang sekarang, tunggu saja nanti”
3. Membangkang : “Akan kulakukan hal yang sebaliknya buat membuktikan bahwa aku gak harus melakukan sesuai permintaan mereka”
4. Mundur :
a. Licik : “Lain kali aku gak mau ketahuan jika hal ini kulakukan lagi”
b. Harga diri turun : “Ya, aku bukan anak yang baik”


Seperti yang diungkapkan John Gray PhD bahwa anak dibawah umur 9 tahun belum tahu benar dan salah, maka wajarlah jika mereka berbuat salah. Biarpun sekian kali anda ingatkan, dia akan melakukan hal yang sama. Menurut beliau, justru jika dilarang secara tak langsung pikiran akan berfokus pada hal yang dilarang tadi. Maka kata-kata “ JANGAN....” justru akan memicu si anak untuk berbuat yang dilarang, sehingga beliau menyarankan untuk menggunakan kata yang lebih positif. Misalnya daripada mengatakan “Jangan bikin kotor lantai “ katakanlah “Yuk kita jaga agar lantai tetap bersih”.
Namun jika anak sudah mengotori lantai dan anda jadi marah serta menghukumnya, salah satu dari keempat efek negatif diatas akan membekas dalam alam bawah sadar anak dan akan mempengaruhi tindakan dia lain kali, tanpa dia sadari. Jika dia merasa bersalah karena dihukum dan merasa bahwa dia anak nakal atau bukan anak yang baik, dia akan cenderung bertingkah demikian atau justru menjadi anak penjilat (jadi dia berbuat baik untuk menyenangkan orang lain bukan karena dia tahu hal itu bagus untuk dilakukan). Jadi dia mungkin suka mengotori lantai karena menganggap dia memang anak nakal. Jika dia jadi licik, kelak jika dia mengotori lantai dia akan berusaha menyembunyikan diri dari anda, bisa jadi dia akan menuding adik/kakaknyalah yang mengotori lantai (sehingga dia akan berbohong). Jika dia ingin balas dendam, kelak dia akan mengotori lantai lagi dan lagi untuk membuat anda jengkel.


Kalau Nggak Dikerasi, Terus Gimana Dong ?
Cara populer yang belakangan mulai dipakai banyak orang untuk mendidik anak adalah menangkap basah ketika si anak berbuat hal yang bagus, bukan sebaliknya ketika dia berbuat salah. Maka ketika si anak melakukan hal yang baik, berhasil dan menyenangkan, orangtua akan memberinya hadiah. Hadiah akan memotivasi anak untuk tetap melakukan hal yang bagus tersebut. Bahkan John Gray Ph D pun sempat memberi ilustrasi : jika seorang karyawan diberi gaji dua kali lipat perjam jika dia kerja lembur, maka karyawan pun akan suka kerja lembur demi mendapat tambahan income. Maka jika orang dewasa saja senang mendapat hadiah atau bonus ketika melakukan sesuatu yang baik, mengapa hal ini tidak diterapkan pada anak juga ?
Nah disinilah Jane Nelsen Ed. D meluruskan dalam buku beliau Positive Discipline. Jika anak selalu diberi hadiah ketika berbuat hal yang baik, maka anak jadi tergantung pada hadiah dan tidak punya kesadaran sendiri untuk berbuat baik karena dia merasa senang berbuat baik. Bagaimana jika dia berbuat baik dan tidak ada yang memberi dia hadiah, atau orangtuanya tidak tahu ? Bisa jadi dia bukan saja tidak berbuat baik, malahan dia melakukan hal yang buruk, toh tidak ada orangtuanya atau tak ada yang memberi dia hadiah.
Jane Nelsen menyebutkan ada 3 cara yang dilakukan orangtua dalam mendidik anak :
Model Pendidikan
Ciri-ciri

Gaya Keras (Terlalu dikontrol)
Memerintah secara kaku tanpa memberi kebebasan


Tak ada pilihan lain, harus dituruti


“Kamu harus melakukannya, karena itu perintahku”

Gaya Lunak (Tanpa batas)
Bebas tanpa batas


Bebas memilih

“Kamu boleh melakukan apapun yang kamu mau”

Gaya Disiplin Yang Positif
Bebas tapi ada batasnya

Pilihan terbatas

“Kamu boleh memilih apapun asal dalam batas yang ditentukan”

Orang tua yang memilih gaya mendidik yang satu akan berbeda pandangan dan sikap dari orang tua yang memilih gaya mendidik lainnya :
Gaya keras :
“Ini peraturan yang harus kamu taati dan jika tidak kamu taati, kamu akan dihukum”. Jadi anak tidak ikut mempengaruhi keputusan. Ibaratnya anak adalah terdakwa dan orangtua adalah hakim.
Gaya Lunak :
“Tidak ada peraturan ketat. Kami yakin kita semua akan hidup saling menyayangi dan bahagi dan kamu kelak akan bisa memilih peraturanmu sendiri kelak. Jika kamu melakukan sesuatu yang bagus, akan kami beri hadiah”.
Gaya Disiplin Yang Positif :
“Kita bisa sama-sama menentukan peraturan mana yang sama-sama menguntungkan (win-win solution) dan apa solusi yang diperlukan jika ada masalah. Jika mama atau papa harus menentukan keputusan tanpa masukan dari kalian (anak-anak), kita akan tegas tetapi sayang, tetap menghormati kalian tanpa menjatuhkan harga diri kalian.
Dr. John Platt memberikan ilustrasi dari ketiga gaya diatas lewat cerita. Seorang anak yang katakanlah bernama Johny berusia 3 tahun akan sarapan pagi di 3 rumah yang berbeda.

Di rumah orang tua ber-Gaya Keras :
Hari itu dingin dan hujan, sehingga mama membuatkan bubur panas untuk sarapan. Si Johny tak mau menyentuhnya “Yuck, aku gak mau makan ini”. Seratus tahun yang lalu para ibu akan dengan mudah berkata “Makan!!!” dan si anak terpaksa memakannya. Tetapi karena sekarang makin sulit menyuruh anak makan, si ibu berusaha membuat si Johny makan seperti ini :
Langkah pertama :
Si ibu menjelaskan kenapa Johny butuh bubur panas untuk sarapan di hari yang dingin dan hujan seperti itu. Si Johny tetap tak mau menyentuh makanannya.

Langkah kedua :
Si ibu mengambil bubur itu dan membuatnya terasa lebih baik, dari mulai diberi gula merah, madu, kismis, sirup bahkan chocolate chips. Johny mencicipinya dan tetap berkata “Gak enak, aku gak mau”

Langkah ketiga :
Si ibu berusaha menceramahinya betapa beruntungnya si Johny “Kamu tahu Johny, anak-anak di Africa banyak yang mati kelaparan. Kamu masih mending bisa sarapan” Si Johny malah bilang “Ok, kirim aja buat mereka”
Langkah keempat :
Merasa kecewa sudah berusaha berbagai macam cara tetapi Johny tetap tak mau makan, si ibu akhirnya memukul pantat si Johny sambil berkata “Ok kamu gak mau makan. Ya sudah, biar kamu tahu rasanya lapar”
Si ibu akan merasa lega setelah emosinya meluap tetapi 30 menit kemudian dia akan merasa bersalah. Apa yang akan dikatakan orang jika dia tak bisa membuat anaknya sendiri sarapan pagi itu. Bagaimana jika si Johny benar-benar kelaparan karena belum sarapan.

Johny main keluar sampai lama untuk membuat si ibu mulai kuatir dan akhirnya masuk rumah sambil berkata “Mama, perutku melilit, lapar sekali”. Kini si ibu mulai ceramah : “Nah, bener kan. Makanya dong denger kata Mama. Tadi Mama sudah bilang kamu bakal kelaparan”. Tanpa dia sadari si Johny cuek saja sampai si ibu berhenti dan akhirnya mengambil kue buat Johny dan menyuruh si Johny keluar bermain sampai makan siang tiba.
Dirumah Orang tua ber-Gaya Lunak
Sekarang mari kita tengok bagaimana Ibu bergaya Lunak jika menghadapi si Johny yang susah makan pagi. Pertama si Johny minta telur rebus, si ibu membuatkannya. Lalu si Johny memakannya sedikit tapi kemudian berganti ide gara-gara di TV ada iklan cereal merk Wheaties. Si ibu memberikannya, tetapi setelah dicicipin si Johny tak suka rasanya dia ingin Sugar Crispies. Karena tak ada persediaan dirumah, si ibu pun ke toko sebelah rumah untuk membelikannya.

Kisah diatas sebetulnya cuma contoh tetapi ternyata bisa terjadi. Jane Nelsen menulis bahwa seorang ibu bercerita kalau anaknya hanya mau burger dan potato chips tapi tak mau makan lainnya. Ditanya oleh si Jane, si ibu bercerita bahwa dia terpaksa membelikan potato chips dan burger atau selalu membuat burger karena sang anak tak mau makan lainnya.

Dirumah Dimana Positive Discipline Diterapkan

Johny sudah berpakaian rapi dan telah membereskan tempat tidur sebelum sarapan. Lalu dia akan membantu si ibu menata meja, bikin omelette dan saat itu waktunya makan Cereal. Si ibu memberi pilihan terbatas “Kamu mau Cheerios atau Wheatis ?”. Karena Johny ini juga melihat iklan Wheaties dia pun minta wheaties dan akhirnya tak suka rasanya. Si ibu hanya berkata’”Ok kalau kamu gak suka rasanya dan tak mau memakannya, kamu boleh main diluar dan kembali saat makan siang”. Lihatlah disini si ibu tidak menceramahi, men jelaskan panjang lebar soal anak-anak lain yg kelaparan bahkan tak memukul sang anak. Karena ini adalah metode baru yang diterapkan si ibu, si Johny berusaha membuat ibunya merasa bersalah. Dua jam kemudian dia masuk rumah “Mama, perutku melilit kelaparan nih”. Si ibu tidak menceramahi “Nah kan sudah mama bilang tadi....bla, bla, bla” namun hanya berkata “Mama yakin memang kamu kelaparan, tapi mama percaya kamu bisa bertahan lapar hingga makan siang tiba”. Johny kaget kenapa mamanya berubah, maka dia pun marah meledak-ledak. Pada saat ini, ibu manapun akan berpikir Positive Discipline tidak bisa diterapkan dan akan menyerah. Si ibu sudah tahu bahwa jika orangtua merubah sikap yang biasa ia lakukan terhadap si anak, anak akan protes dan bahkan bisa tantrum. Ini adalah fenomena yang diibaratkan pada efek mesin soda. Orang yang membeli coca cola atau minuman bersoda di mesin yang tiba-tiba ngadat, akan menendang atau bahkan menggoyang-goyang si mesin agar soda yang ia beli keluar.

Nah si ibu bisa memberikan kesempatan bagi si Johny untuk meredakan emosinya atau si ibu keluar dari ruangan, sampai keduanya sama-sama tidak emosi lagi. Atau sekedar memeluk si Johny. Atau sekedar membuat si Johny lupa pada tantrumnya dengan memancing Johny untuk memperhatikant atau membicarakan sesuatu (hal ini bagus sekali untuk anak-anak yang masih kecil).

Itulah beberapa ilustrasi yang dijelaskan di buku Posivitive Discipline. Pengarangnya, Jane Nelsen Ed. D menjelaskan bahwa pendidikan gaya keras memang akan menghentikan tindakan anak yang tidak kita setujui, pada saat itu saja. Kelak anak akan berbuat hal yang sama atau serupa di lain waktu. Sedangkan Gaya Lunak akan membuat anak bukan saja manja, tetapi jadi tidak tahu aturan.

John Gray PhD mengatakan bahwa anak-anak, khususnya dibawah umur 9 tahun masih sangat tergantung pada orangtuanya. Ini berarti orangtualah yang harus mengontrol anaknya. Jika dibiarkan, anak akan bingung sendiri dan jadi lepas kontrol. Saya yakin anda setuju.

Mungkin anda memakai metode tarik-ulur, yaitu jika anak melakukan sesuatu yang bagus anda beri hadiah dan jika dia berbuat salah akan dihukum. Bagaimana sekarang pendapat anda setelah tahu efek hukuman ternyata tidak bagus, khususnya bagi anak-anak dibawah umur 9 tahun ? Bagaimana pendapat anda jika ada metode mendidik anak tanpa hukuman yang bisa anda terapkan agar anak disiplin dan tumbuh menjadi anak yang bertanggung jawab ? Insya Allah akan saya tulis kelanjutannya. Semoga informasi diatas berguna bagi kita semua, terutama bagi saya sendiri.

Rasulullah SAW bersabda :
“ Orang yang paling baik di kalangan kamu adalah orang yang paling baik kepada keluarganya dan sayalah yang paling baik kepada keluarga saya “ (Riwayat Ibnu Majah dan All-Hakim”

“Mukmin yang paling lengkap iman mereka ialah mereka yang mempunyai akhlaq yang paling baik serta berlemah-lembut dengan keluarga mereka” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar