Selasa, 27 Oktober 2009

Awas, Jangan Terlalu Keras Mendidik Anak !!!!

Pernah marah atau jengkel pada anak ? Pasti pernah. Apakah anda seorang ibu, ayah, nenek, kakek, guru bahkan sekedar om tante sekalipun; anda adalah manusia yang punya emosi. Jadi jika anda sempat jengkel karena anak tak menuruti permintaan anda, atau anda jadi marah ketika anak mulai membangkang dan anda jadi kecewa karena anak berbuat sesuatu yang sangat menyayat hati, itu pertanda anda sangat sayang pada anak tersebut.
Marah Tanda Sayang ?

Anthony E. Wolf, PhD dalam buku The Secret of Parenting mengungkapkan bahwa dalam diri tiap manusia itu ada 2 sisi. Sisi pertama, yang ia sebut baby-self, tetap ada pada anak manusia hingga dia dewasa sekalipun. Baby-self ingin relax, seenaknya sendiri, biarpun hal itu membuat orang lain marah-marah. Sebaliknya Mature-self, menunjukkan sikap responsible yang tinggi dan akan tampak nyata ketika anak beranjak dewasa atau ketika anak berada diluar pengawasan/jangkauan orang yang paling ia cintai.

Anthony menjelaskan bahwa tantangan mendidik anak (yang menandakan rasa sayang anda pada anak) biasanya terletak pada 3 hal. Ketiga hal tersebut adalah :

1. "Lakukan !!!" (Menyuruh anak-anak melakukan sesuatu, yang mereka tak mau melakukannya).

2. Stop !!! (Menyuruh anak-anak berhenti melakukan sesuatu yang ia ingin terus melakukannya (karena berbahaya misalnya, atau karena hal itu tidak baik baginya, atau karena dia harus mengerjakan hal lain).

3. Tidak !!! (Mencegah anak mendapatkan/melakukan apa yang ia inginkan)

Ketiga hal tersebutlah yang paling sering mendapat reaksi negatif dari anak-anak dan juga orang dewasa yang sedang dalam baby-self mode on :)

Ya, emosi negatif yang anda rasakan adalah buah dari rasa sayang anda terhadap anak yang anda didik. Anda ingin memerintah dia berbuat sesuatu karena anda ingin dia belajar melakukan sesuatu yang berguna. Anda meminta dia berhenti melakukan sesuatu karena anda tak ingin dia tumbuh menjadi anak yang tak baik. Anda melarang dia dari sesuatu karena anda ingin melindunginya. Maka ketika keinginan positif anda mendapat reaksi negatif dari anak; wajarlah jika anda mulai emosi. Marah, jengkel, kecewa adalah beberapa tandanya.
Yang anak lihat dari anda adalah bahasa tubuh anda, mimik wajah anda dan percayalah mereka bisa merasakan bahkan menebaknya. Maka ketika kemarahan itu meluap dan anda merasa perlu menghukum lewat omelan, menceramahi bahkan memukul si anak, ada baiknya anda berhati-hati. Karena efek dari hukuman bukanlah saat itu saja, tetapi bisa tersimpan bertahun-tahun hingga anak menjadi dewasa.
Masalahnya, anak-anak tidak tahu dan bahkan bingung jika dia dilarang, diperintah bahkan dimarahi itu bentuk tanda sayang anda pada dia. Apalagi jika anda menyatakannya pada dia, “Mama larang kamu itu karena mama sayang kamu” (padahal yang dilarang itu hal yang dia anggap mengasyikkan, misalnya nonton TV terlalu dekat). “Papa minta kamu berhenti lompat-lompat diatas tempat tidur sekarang karena papa sayang sama kamu !!!!” (padahal anak mana sih yang tak suka lompat-lompat diatas kasur”. Bahkan biarpun dijelaskan sekalipun, ketika anda menjelaskan alasan mengapa anda melarang dia berbuat sesuatu, misalnya karena dia bisa jatuh, kelak dia akan melakukan hal yang sama sekali lagi dan kelak anda akan bilang “Kan sudah mama jelasin, nonton TV terlalu dekat itu gak baik buat mata, kok masih aja nonton TV dekat sekali”.
Menurut John Gray PhD dalam buku Children Are From Heaven, anak dibawah umur 9 tahun belum tahu benar dan salah. Maka jangan harap mereka ingat dan faham betul jika dilarang sesuatu, dan jangan marah jika mereka melakukan apa yang anda larang di lain waktu walaupun saat anda marah-marah ketika dia melakukannya dia akan berhenti sebentar. Mereka juga belum punya kematangan berpikir untuk memahami bahwa jika dia dimarahi itu tanda disayang, karena jika orang tua marah sikapnya berlawanan dengan sikap sayang. Mereka tidak tahu bahwa dibalik kemarahan orangtua, ada rasa sayang yang terselip.

Zaman Berubah, Anak-anak pun Ikut Berubah Pula
Banyak orang yang menganggap cara terbaik mendidik anak adalah menghukumnya ketika dia berbuat salah. Dan ini sering didapatkan pada metode pendidikan orang-orang jaman dulu. Hasilnya bagus, karena setelah dihukum anak tampak menurut. Bahkan orangtua kita dan mungkin anda sendiri juga pernah dididik keras seperti itu dan ternyata toh hasilnya saat dewasa fine-fine saja. Tetapi anak generasi sekarang berbeda karena zaman telah berubah.
Rudolf Dreikurs sempat membuat teori yang menjelaskan mengapa zaman yang berubah bisa mempengaruhi anak-anak juga. Banyak yang berpendapat bahwa mungkin anak-anak generasi sekarang berubah karena banyaknya tayangan negatif di TV, lagu-lagu yang syairnya tak baik, atau karena banyaknya anak-anak hasil broken homes. Walaupun hal-hal diatas ada benarnya, teori dari Dreikurs menarik juga untuk dipahami.
Perubahan besar yang terjadi di dunia akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sikap tunduk dan patuh jarang sekali ditemukan. Dulu wanita yang dianggap baik oleh masyarakat adalah wanita yang tinggal dirumah, patuh dan tunduk pada suami, mengurus anak-anak dan rumah tangga. Maka dulu keputusan final terletak pada keputusan ayah sebagai kepala keluarga. Dengan adanya feminisme dimana-mana, banyak wanita yang berani melawan suami bahkan meminta cerai sebagai bentuk kebebasan bagi wanita. Suami tak mudah lagi mengontrol istrinya. Dreikurs menyebutkan yang kurang lebih : “Jika ayah tak bisa lagi mengontrol istrinya, maka keduanya (ayah dan ibu) tak akan mudah mengontrol anak-anaknya”.
Zaman dulu, jika tak ingin kehilangan pekerjaan ayah harus tunduk pada keputusann boss-nya, biarpun keputusan tersebut berbeda dengan ide brillian sang ayah. Sekarang, orang dengan mudah berganti pekerjaan atau perusahaan yang mendukung kreatifitas dan ide-idenya agar bisa bekerja dengan nyaman. Dulu masih banyak tekanan pada kelompok-kelompok minoritas, sekarang mereka beramai-ramai menuntut haknya. Dulu anak-anak dibawah umur harus ikut bekerja membantu orangtua dan dianggap wajar; sekarang anak-anak yang bekerja dibawah umur akan dianggap illegal. Beberapa contoh perubahan tersebut secara langsung dan tak langsung mempengaruhi cara berpikir dan bersikap anak-anak yang pelan-pelan tapi mantap membuat mereka sering membangkang, melawan dan mengecewakan orangtua.
Karena itulah anak-anak zaman dulu akan tunduk patuh pada perintah orangtuanya dan jika dihukum akan menurut, mereka melihat model dan contoh disekitarnya dan tumbuh dari situ. Anak-anak sekarang jika tak menurut dan dihukum, malah akan membangkang. Atau minimal mereka menurut tetapi cepat atau lambat perbuatan yang serupa terulang lagi sehingga orangtua akan jengkel dan menghukum lagi. Berapa sering kita mendengar anak-anak yang dulunya manis dalam arti menurut jika diperintah (karena takut dihukum jika tak menurut); akhirnya tumbuh menjadi remaja membandel atau bermasalah dan tak mau lagi menuruti perintah ataupun nasehat orangtuanya. Karena itu berhati-hatilah dalam menghukum anak karena ada 4 efek negative dari hukuman bagi anak yang akan terbawa hingga dewasa.


Empat Efek Negatif dari Hukuman
Yup, anak-anak semakin lama semakin berubah seiring dengan perubahan zaman. Anak zaman dulu jika sering dihukum, dia akan tumbuh menjadi anak yang taat hingga dewasa. Akibatnya mereka menerapkan metode pendidikan model keras seperti ini pada anak-anak mereka juga; karena mereka anggap itulah yang berhasil.
Namun sebetulnya, ada empat efek negatif dari hukuman. Hukumlah seorang anak, maka mungkin dia akan menurut, tetapi hati-hati karena empat efek negatif hukuman bisa terbawa hingga dia dewasa. Lebih parah lagi, jika anda sering menghukum anak dibawah usia 9 tahun, maka ketika dia mulai berusia 9 tahun keatas dan akhirnya memasuki usia remaja; dia bisa tumbuh menjadi anak bandel dan menjadi remaja bermasalah.
John Gray PhD dalam bukunya Children are From Heaven menyebutkan bahwa dibawah usia 9 tahun anak-anak masih belum punya kesadaran diri, belum ingin tahu apa tujuan hidup dia, belum tahu salah dan benar (yang dalam islam disebut belum mumayyiz). Maka fondasi pendidikan anak harus kuat pada usia dibawah 9 tahun ini. Dibawah usia 9 tahun, anak masih sangat amat tergantung pada orangtuanya, biarpun sudah mulai bersekolah. Setelah mulai memasuki usia remaja, dia mulai melihat dirinya sendiri dan mencari jati dirinya. Biasanya diusi 9-10 tahun anak-anak mulai malu jika orangtuanya melakukan sesuatu di depan umum yang dulunya dianggap wajar misalnya jika dulu sang mama suka bernyanyi bersama si anak saat jalan-jalan, maka kini si anak akan mulai malu. Jadi dia akan sadar diri bahwa ada orang lain yang memperhatikan, dan dia tak ingin jadi malu akhirnya. Pada usia-usia remaja, anak mulai membandingkan sisi positif dan negatif dari didikan orangtuanya dan apa yang ia dapat diluar. Di usia remaja inilah ada tekanan kuat dari lingkungan pergaulan anak; maka salah didik pada 9 tahun pertama akan menyebabkan anak remaja jadi membandel dan nakal, atau tak peduli lagi pada nasehat dan perintah orangtuanya.
Nah salah didik disini adalah salah metode saja karena zaman telah berubah maka metode pendidikan dulu belum tentu pas dengan zaman sekarang. Metode pendidikan zaman dulu yang sering diterapkan adalah menghukum anak jika berbuat salah. Padahal jika hal itu diterapkan saat ini ada efek negatifnya.
Dalam buku klasik Positive Discipline, Jane Nelsen Ed. D menyebutkan ada empat efek negatif dari hukuman yang akan mempengaruhi pikiran dan sikap mereka :
1. Tersinggung : “Ini gak adil. Orang dewasa gak bisa dipercaya”
2. Balas dendam : “Ok mereka menang sekarang, tunggu saja nanti”
3. Membangkang : “Akan kulakukan hal yang sebaliknya buat membuktikan bahwa aku gak harus melakukan sesuai permintaan mereka”
4. Mundur :
a. Licik : “Lain kali aku gak mau ketahuan jika hal ini kulakukan lagi”
b. Harga diri turun : “Ya, aku bukan anak yang baik”


Seperti yang diungkapkan John Gray PhD bahwa anak dibawah umur 9 tahun belum tahu benar dan salah, maka wajarlah jika mereka berbuat salah. Biarpun sekian kali anda ingatkan, dia akan melakukan hal yang sama. Menurut beliau, justru jika dilarang secara tak langsung pikiran akan berfokus pada hal yang dilarang tadi. Maka kata-kata “ JANGAN....” justru akan memicu si anak untuk berbuat yang dilarang, sehingga beliau menyarankan untuk menggunakan kata yang lebih positif. Misalnya daripada mengatakan “Jangan bikin kotor lantai “ katakanlah “Yuk kita jaga agar lantai tetap bersih”.
Namun jika anak sudah mengotori lantai dan anda jadi marah serta menghukumnya, salah satu dari keempat efek negatif diatas akan membekas dalam alam bawah sadar anak dan akan mempengaruhi tindakan dia lain kali, tanpa dia sadari. Jika dia merasa bersalah karena dihukum dan merasa bahwa dia anak nakal atau bukan anak yang baik, dia akan cenderung bertingkah demikian atau justru menjadi anak penjilat (jadi dia berbuat baik untuk menyenangkan orang lain bukan karena dia tahu hal itu bagus untuk dilakukan). Jadi dia mungkin suka mengotori lantai karena menganggap dia memang anak nakal. Jika dia jadi licik, kelak jika dia mengotori lantai dia akan berusaha menyembunyikan diri dari anda, bisa jadi dia akan menuding adik/kakaknyalah yang mengotori lantai (sehingga dia akan berbohong). Jika dia ingin balas dendam, kelak dia akan mengotori lantai lagi dan lagi untuk membuat anda jengkel.


Kalau Nggak Dikerasi, Terus Gimana Dong ?
Cara populer yang belakangan mulai dipakai banyak orang untuk mendidik anak adalah menangkap basah ketika si anak berbuat hal yang bagus, bukan sebaliknya ketika dia berbuat salah. Maka ketika si anak melakukan hal yang baik, berhasil dan menyenangkan, orangtua akan memberinya hadiah. Hadiah akan memotivasi anak untuk tetap melakukan hal yang bagus tersebut. Bahkan John Gray Ph D pun sempat memberi ilustrasi : jika seorang karyawan diberi gaji dua kali lipat perjam jika dia kerja lembur, maka karyawan pun akan suka kerja lembur demi mendapat tambahan income. Maka jika orang dewasa saja senang mendapat hadiah atau bonus ketika melakukan sesuatu yang baik, mengapa hal ini tidak diterapkan pada anak juga ?
Nah disinilah Jane Nelsen Ed. D meluruskan dalam buku beliau Positive Discipline. Jika anak selalu diberi hadiah ketika berbuat hal yang baik, maka anak jadi tergantung pada hadiah dan tidak punya kesadaran sendiri untuk berbuat baik karena dia merasa senang berbuat baik. Bagaimana jika dia berbuat baik dan tidak ada yang memberi dia hadiah, atau orangtuanya tidak tahu ? Bisa jadi dia bukan saja tidak berbuat baik, malahan dia melakukan hal yang buruk, toh tidak ada orangtuanya atau tak ada yang memberi dia hadiah.
Jane Nelsen menyebutkan ada 3 cara yang dilakukan orangtua dalam mendidik anak :
Model Pendidikan
Ciri-ciri

Gaya Keras (Terlalu dikontrol)
Memerintah secara kaku tanpa memberi kebebasan


Tak ada pilihan lain, harus dituruti


“Kamu harus melakukannya, karena itu perintahku”

Gaya Lunak (Tanpa batas)
Bebas tanpa batas


Bebas memilih

“Kamu boleh melakukan apapun yang kamu mau”

Gaya Disiplin Yang Positif
Bebas tapi ada batasnya

Pilihan terbatas

“Kamu boleh memilih apapun asal dalam batas yang ditentukan”

Orang tua yang memilih gaya mendidik yang satu akan berbeda pandangan dan sikap dari orang tua yang memilih gaya mendidik lainnya :
Gaya keras :
“Ini peraturan yang harus kamu taati dan jika tidak kamu taati, kamu akan dihukum”. Jadi anak tidak ikut mempengaruhi keputusan. Ibaratnya anak adalah terdakwa dan orangtua adalah hakim.
Gaya Lunak :
“Tidak ada peraturan ketat. Kami yakin kita semua akan hidup saling menyayangi dan bahagi dan kamu kelak akan bisa memilih peraturanmu sendiri kelak. Jika kamu melakukan sesuatu yang bagus, akan kami beri hadiah”.
Gaya Disiplin Yang Positif :
“Kita bisa sama-sama menentukan peraturan mana yang sama-sama menguntungkan (win-win solution) dan apa solusi yang diperlukan jika ada masalah. Jika mama atau papa harus menentukan keputusan tanpa masukan dari kalian (anak-anak), kita akan tegas tetapi sayang, tetap menghormati kalian tanpa menjatuhkan harga diri kalian.
Dr. John Platt memberikan ilustrasi dari ketiga gaya diatas lewat cerita. Seorang anak yang katakanlah bernama Johny berusia 3 tahun akan sarapan pagi di 3 rumah yang berbeda.

Di rumah orang tua ber-Gaya Keras :
Hari itu dingin dan hujan, sehingga mama membuatkan bubur panas untuk sarapan. Si Johny tak mau menyentuhnya “Yuck, aku gak mau makan ini”. Seratus tahun yang lalu para ibu akan dengan mudah berkata “Makan!!!” dan si anak terpaksa memakannya. Tetapi karena sekarang makin sulit menyuruh anak makan, si ibu berusaha membuat si Johny makan seperti ini :
Langkah pertama :
Si ibu menjelaskan kenapa Johny butuh bubur panas untuk sarapan di hari yang dingin dan hujan seperti itu. Si Johny tetap tak mau menyentuh makanannya.

Langkah kedua :
Si ibu mengambil bubur itu dan membuatnya terasa lebih baik, dari mulai diberi gula merah, madu, kismis, sirup bahkan chocolate chips. Johny mencicipinya dan tetap berkata “Gak enak, aku gak mau”

Langkah ketiga :
Si ibu berusaha menceramahinya betapa beruntungnya si Johny “Kamu tahu Johny, anak-anak di Africa banyak yang mati kelaparan. Kamu masih mending bisa sarapan” Si Johny malah bilang “Ok, kirim aja buat mereka”
Langkah keempat :
Merasa kecewa sudah berusaha berbagai macam cara tetapi Johny tetap tak mau makan, si ibu akhirnya memukul pantat si Johny sambil berkata “Ok kamu gak mau makan. Ya sudah, biar kamu tahu rasanya lapar”
Si ibu akan merasa lega setelah emosinya meluap tetapi 30 menit kemudian dia akan merasa bersalah. Apa yang akan dikatakan orang jika dia tak bisa membuat anaknya sendiri sarapan pagi itu. Bagaimana jika si Johny benar-benar kelaparan karena belum sarapan.

Johny main keluar sampai lama untuk membuat si ibu mulai kuatir dan akhirnya masuk rumah sambil berkata “Mama, perutku melilit, lapar sekali”. Kini si ibu mulai ceramah : “Nah, bener kan. Makanya dong denger kata Mama. Tadi Mama sudah bilang kamu bakal kelaparan”. Tanpa dia sadari si Johny cuek saja sampai si ibu berhenti dan akhirnya mengambil kue buat Johny dan menyuruh si Johny keluar bermain sampai makan siang tiba.
Dirumah Orang tua ber-Gaya Lunak
Sekarang mari kita tengok bagaimana Ibu bergaya Lunak jika menghadapi si Johny yang susah makan pagi. Pertama si Johny minta telur rebus, si ibu membuatkannya. Lalu si Johny memakannya sedikit tapi kemudian berganti ide gara-gara di TV ada iklan cereal merk Wheaties. Si ibu memberikannya, tetapi setelah dicicipin si Johny tak suka rasanya dia ingin Sugar Crispies. Karena tak ada persediaan dirumah, si ibu pun ke toko sebelah rumah untuk membelikannya.

Kisah diatas sebetulnya cuma contoh tetapi ternyata bisa terjadi. Jane Nelsen menulis bahwa seorang ibu bercerita kalau anaknya hanya mau burger dan potato chips tapi tak mau makan lainnya. Ditanya oleh si Jane, si ibu bercerita bahwa dia terpaksa membelikan potato chips dan burger atau selalu membuat burger karena sang anak tak mau makan lainnya.

Dirumah Dimana Positive Discipline Diterapkan

Johny sudah berpakaian rapi dan telah membereskan tempat tidur sebelum sarapan. Lalu dia akan membantu si ibu menata meja, bikin omelette dan saat itu waktunya makan Cereal. Si ibu memberi pilihan terbatas “Kamu mau Cheerios atau Wheatis ?”. Karena Johny ini juga melihat iklan Wheaties dia pun minta wheaties dan akhirnya tak suka rasanya. Si ibu hanya berkata’”Ok kalau kamu gak suka rasanya dan tak mau memakannya, kamu boleh main diluar dan kembali saat makan siang”. Lihatlah disini si ibu tidak menceramahi, men jelaskan panjang lebar soal anak-anak lain yg kelaparan bahkan tak memukul sang anak. Karena ini adalah metode baru yang diterapkan si ibu, si Johny berusaha membuat ibunya merasa bersalah. Dua jam kemudian dia masuk rumah “Mama, perutku melilit kelaparan nih”. Si ibu tidak menceramahi “Nah kan sudah mama bilang tadi....bla, bla, bla” namun hanya berkata “Mama yakin memang kamu kelaparan, tapi mama percaya kamu bisa bertahan lapar hingga makan siang tiba”. Johny kaget kenapa mamanya berubah, maka dia pun marah meledak-ledak. Pada saat ini, ibu manapun akan berpikir Positive Discipline tidak bisa diterapkan dan akan menyerah. Si ibu sudah tahu bahwa jika orangtua merubah sikap yang biasa ia lakukan terhadap si anak, anak akan protes dan bahkan bisa tantrum. Ini adalah fenomena yang diibaratkan pada efek mesin soda. Orang yang membeli coca cola atau minuman bersoda di mesin yang tiba-tiba ngadat, akan menendang atau bahkan menggoyang-goyang si mesin agar soda yang ia beli keluar.

Nah si ibu bisa memberikan kesempatan bagi si Johny untuk meredakan emosinya atau si ibu keluar dari ruangan, sampai keduanya sama-sama tidak emosi lagi. Atau sekedar memeluk si Johny. Atau sekedar membuat si Johny lupa pada tantrumnya dengan memancing Johny untuk memperhatikant atau membicarakan sesuatu (hal ini bagus sekali untuk anak-anak yang masih kecil).

Itulah beberapa ilustrasi yang dijelaskan di buku Posivitive Discipline. Pengarangnya, Jane Nelsen Ed. D menjelaskan bahwa pendidikan gaya keras memang akan menghentikan tindakan anak yang tidak kita setujui, pada saat itu saja. Kelak anak akan berbuat hal yang sama atau serupa di lain waktu. Sedangkan Gaya Lunak akan membuat anak bukan saja manja, tetapi jadi tidak tahu aturan.

John Gray PhD mengatakan bahwa anak-anak, khususnya dibawah umur 9 tahun masih sangat tergantung pada orangtuanya. Ini berarti orangtualah yang harus mengontrol anaknya. Jika dibiarkan, anak akan bingung sendiri dan jadi lepas kontrol. Saya yakin anda setuju.

Mungkin anda memakai metode tarik-ulur, yaitu jika anak melakukan sesuatu yang bagus anda beri hadiah dan jika dia berbuat salah akan dihukum. Bagaimana sekarang pendapat anda setelah tahu efek hukuman ternyata tidak bagus, khususnya bagi anak-anak dibawah umur 9 tahun ? Bagaimana pendapat anda jika ada metode mendidik anak tanpa hukuman yang bisa anda terapkan agar anak disiplin dan tumbuh menjadi anak yang bertanggung jawab ? Insya Allah akan saya tulis kelanjutannya. Semoga informasi diatas berguna bagi kita semua, terutama bagi saya sendiri.

Rasulullah SAW bersabda :
“ Orang yang paling baik di kalangan kamu adalah orang yang paling baik kepada keluarganya dan sayalah yang paling baik kepada keluarga saya “ (Riwayat Ibnu Majah dan All-Hakim”

“Mukmin yang paling lengkap iman mereka ialah mereka yang mempunyai akhlaq yang paling baik serta berlemah-lembut dengan keluarga mereka” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).

Senin, 26 Oktober 2009

Tips Meningkatkan Kecerdasan Anak

Orang tua pasti senang kalau mempunyai anak yang cerdas dan ber-IQ (Intelligence Quotient) tinggi.

Kecerdasan tidak hanya karena faktor keturunan saja, tetapi kecerdasan juga dipengaruhi oleh stimulasi maupun dengan memberikan makanan yang mengandung asupan yang dapat mendukung perkembangan kecerdasan anak.

Faktor berikut ini mesti diperhatikan orang tua atau pengasuh anak, karena faktor-faktor ini mempengaruhi terhadap perkembangan kecerdasan anak :

•Kecukupan zat gizi adalah faktor yang penting untuk dalam perkembangan kecerdasan otak. Zat besi salah satu yang diperlukan oleh anak. Kekurangan zat besi dapat menyebabkan kekurangan darah (anemia) sehingga dapat menghambat perkembangan anak pada umumnya dan perkembangan otak khususnya.
•Pemberian Asi eksklusif sampai anak berusia 6 bulan sangat penting. Asi telah memenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan anak.
•Lemak esensial atau lemak yang tidak dapat dibuat oleh tubuh tetapi dihasilkan oleh makanan sehari-hari seperti ARA (arachidonic acid), DHA (docosahexaenoic acid), Prebiotik, Lactoferin membantu membentuk struktur otak bayi. Sumber makanan ini dapat diperoleh dari ikan tuna, ikan salmon, kerang dan sebagainya.
•Lingkungan yang sehat dan nyaman bagi perkembangan anak membantu menjaga perkembangan anak.
•Dengan adanya suasana keluarga yang harmonis, hangat dan penuh kasih sayang maka anak akan tumbuh dan berkembang dengan optimal.
•Memberikan stimulasi seimbang dapat mengasah kecerdasan anak. Mengajak anak bermain dengan alat permainan yang dapat merangsang daya pikir sesuai usia mereka, seperti balok susun, puzzle, menggambar, mewarnai, bernyanyi.
Sumber:
Dari berbagai sumber
Sumber utama dari Majalah Ayahbunda.

Minggu, 25 Oktober 2009

Mempraktekan, Sebuah Metode Belajar Yang Efektif

Meskipun saya telah diajari mengarang sejak kelas 1 SD, kemudian diperdalam lagi di SMP dan SMA, namun mengarang tetap saja merupakan pekerjaan yang sulit bagi saya. Entahlah mengapa begitu, padahal mengarang hanyalah memindahkan gagasan-gagasan kita ke dalam sebuah susunan kalimat-kalimat. Dan begitulah bagi kebanyakan orang, mengarang adalah momok yang menakutkan, dan pekerjan yang membosankan. Saya lalu bertanya, apakah saya yang salah atau metodenya yang salah ?. Saya baru suka menulis sejak saya menjadi Pengurus Harian JMMI. Saat itu, saya mengenal internet, dan sering menuliskan reportase tentang kegiatan JMMI di milis FSLDK atau ke PR 4 ITS lewat email. Lalu, seperti kebanyakan anak muda lain yang suka membaca cerpennya Helvi Tiana Rosa, sayapun mulai mengagumi tulisan-tulisannya, dan cara ia menulis, yang bisa mengalir begitu saja dengan runtut. Cara ia menaruh titik, koma, jeda, sangatlah sempurna. Dan sejak saat itu saya mulai belajar dari tulisan-tulisannya. Saya juga mulai menuliskan gagasan-gagasan saya ke dalam kalimat-kalimat secara rutin, dan terus terang saya mulai merasa sangat menikmatinya. Mengapa dulu mengarang begitu sulit dan sekarang begitu menyenangkan? Dulu bagi saya pelajaran mengarang sangatlah menyusahkan. Kita hanya diajari membuat kerangka karangan, inti paragraf, Menerangkan Diterangkan, Subjek Predikat Obyek, Eksposisi Narasi Argumentasi dll, yang membuat setiap kita menuliskan kata, selalu saja dibatasi oleh kaidah-kaidah yang menyulitkan. Namun, sekarang kaidah-kaidah itu tidaklah begitu saya fikirkan, karena yang penting, adalah bagaimana tulisan saya bisa dinikmati orang lain. Karena saya melihat para penulis seperti Hamka menulis secara mengalir begitu saja. Malahan, Emha Ainun Najib mempunyai gaya karangan bebas, yang malahan menjadikannya enak untuk dinikmati. Dari cerita mengarang yang saya ungkapkan panjang lebar tadi, sebenarnya saya hanya ingin mengatakan bahwa seringkali dalam mempelajari sesuatu, kita hanya di sibukkan dengan mempelajari kaidahnya, dan bukannya mempelajari inti persoalannya. Pada pelajaran mengarang, kita malahan sering di ajarkan tentang induk kalimat dan anak kalimat, daripada mengambil pena dan kertas dan memulai belajar mengarang. Pada pelajaran Bahasa Inggris, kta hanya diajarkan tenses yang justru membuat banyak orang merasa bosan, dan bukannya diajarkan bagaimana mulai berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris. Dulu ketika saya belajar membaca Al Qur’an, pada tingkat terentu, saya diminta untuk menghafalkan tajwid. Idghom mutajanisain, mutamatstilain, Idhar Syafawi dan lain-lain yang menjadikan saya kesulitan untuk belajar tajwid. Akan tetapi ketika saya menyimak kaset muratal, sambil membuka Al quran, maka sedikit demi sedikit, saya mulai bisa membaca dengan tajwid, meskipun saya tidak begitu mengenal nama tajwid yang saya baca. Barangkali ini pulalah yang menjadikan ustadz As’ad Humam membuat metode Iqra’ untuk belajar mebaca Al Qur’an. Dan metode Iqra’ menekankan cara membaca a, ba, ta, na, ni, nu tanpa si santri tahu dulu nama-nama hurufnya seperti alif, ba’, ta’, dan nun. Dan Iqra’ ternyata paling banyak dinikmati. Akhirnya pula saya mulai berkesimpulan, bahwa belajar sambil praktik itu lebih efektif, lebih mudah, dan lebih menyenangkan. Belajar sambil melakukan itu akan terasa lebih bisa dinikmati. Saya bisa memahami, mengapa ditangan A Agym, banyak orang mulai tersedot untuk belajar Islam, ternyata AAgym membangun metode belajar dengan mengamalkan. Sedikit memang yang diajarkan, namun penekanan pada sisi pengamalan begitu besar. Seseorang akhirnya berfikir bahwa belajar Islam itu mudah dan menyenangkan. Dizaman Nabi, ada riwayat bahwa ketika turun ayat jilbab, maka orang Madinah ramai-ramai mengenakannya, hingga yang belum mempunyai rame-rame menyobak korden hanya untuk menutupi rambut dan dadanya. Demikian pula saat perintah pelarangan khamar turun, maka orang mulai rame-rame memecahkan gentong-gentong khamr mereka. Simpel dan menyenangkan. wallahu a’lam Sumber : Edy Santoso http://achedy.penamedia.com

Sabtu, 24 Oktober 2009

SMP-DIM Terapkan Metode Pendidikan Diasramakan

Islamic International School Darul Ilmi Murni (IIS-DIM) adalah salah satu dari sekian banyak instansi pendidikan yang memiliki beberapa landasan prinsip untuk memajukan mutu pendidikan bernuansa islam dan universal. Hal ini tertuang dalam beberapa metode pembelajaran yang dikembangkan IIS-DI. Salah satunya adalah metode SMP yang diasramakan.

Kepala Sekolah SMP IIS-DIM Effendi Nasution,Spd ketika ditemui mengatakan, metode ini dilandasi pemikiran karakter seseorang lahir dari pola pemikiran yang terbentuk dari atmosfir lingkungan daimana seseorang itu bermasyarakat. Seseorang bisa menjadi penjahat karena lingkungan tempat tinggalnya penuh dengan berandal. Orang bisa menjadi sombong karena dia terlahir dari keluarga kaya yang selalu membusungkan dad. Orang menjadi banci karena pengaruh pergaulannya ditengah masyarakat transeksual.

Dilihat dari fenomena ini kita bisa simpulkan bahwa sifat itu adalah transitif. Sifat itu akan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan sekitarnya. Artinay alingkungan yang berpengaruh besar dalam membentuk ataupun merubah sifat dan karakter seseorang. Tapi bagaimana suatu perubahan itu mengarah, kitalah sebagai anggota masyarakat berkewajiban untuk mengawal perubahan tersebut kearah yang lebih baik.

Lebih lanjut Effendi menambahkan, kehidupan asrama adalah contoh konkrit dari mengkondisikan pembelajaran yang terpadubuah dari management pembelajaran dalam suatu lingkup ruang dan lingkungan. Sihingga dari berbaurnya berbagai macam watak dan pemikiran dalam asram, akan terbentuk suatu sistem organisasi kecil dalam masyarakat kecil yaitu guru, siswa dan asrama yang nantinya dengan pembinaan yang positif akan melahirkan sifat kedisiplinan silaturahmi, gotong royong dan solidaritas yang akan memudahkan proses pembelajaran dalam mentransfer pengetahuan dalam diri siswa didik.

Dari sisnilah IIS-DIM berharap dapat membentuk generasi-generasi muda berahlak dan berwawasan madani ( Universal Knowlage). Selain itu metode ini memudahkan guru pembimbing untuk mengkondisikan peserta didik dalam mengikuti pembelajaran yang diberikan. Oleh karena itu metode ini sangat efektif untuk menjalankan segala bentuk program yang mengarah pada pengembangan diri siswa. Baik itu pengembangan fisik,mental maupun spiritual. Karena itulah dengan metode ini IIS-DIM berharap mampu untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang mendukung terhadap perkembangan anak dalm beraktifitas dan berkreatifitas.

Metode diasramakan yang diprogramkan ISS-DIM menitik beratkan pada pendidikan pengetahuan bahasa ( Inggris -Arab) dan agama sebagai salah satu karakter instansi pendidikan yang berbasis Islam dan Internasional, oleh karena itu program-program yang ada didalam asrama, baik program harian,mingguan maupun bulanan semuanay mengarah pada pendidkan skill dalam berkomonikasi global dan pendalaman spritual sebagai bekal akhlak dalam pergaulan.

Program ini meliputi: Pembelajaran Intensif bahasa INggris - Arab setiap selesai Shalat subuh. Program harian dalam menanamkan pendidikan dasar dua bahasa Internasionalddan juga meeting Club. Program bulanan (diminggu kedua setiap bulannya) yang bertujuan untuk melatih kecakapan siswa dalam penguasaan dua bahasa melalui media hiburan seperti pidato, menyanyi, pembacaan puisi serta drama dalam bahasa Inggris dan Arab.

Selain itu, Language Quiz. Program bulanan( diminggu pertama pada setiap bulannya) untuk melatih siswa berkompetisi dalam pengetetahuan dua bahasa. Kemudian pembelajaran agama. Program harian setelah shalat Isya' bertujuan menanamkan pendidikan agama dasar seperti Fiqih,Tajwid,Tauhid maupaun Tarikh ( Sejarah Islam, Selanjutnya pembacaan Shalawat Ad-Diba'i. Program mingguan setiap malam senin sebagai salah satu kegitan spiritual untuk siswa dan pembacaaan surat Yaasin. Program mengguan setiap malam jum'at untuk menunjang pendalaman spiritual siswa. Program-program inilah tidak termasuk program utama IIS-DIM pada jam sekolah di pagi hari, karena program ini termasuk kategori ekstra maupun lokal.

Menurut Effendi,pada dasarnya program yang dicanangkan oleh IIS-DIM itu tidak beda dengan instansi pendidikan lain,tetapi paling tidak IIS-DIM mencoba untuk menerapkan metode baru dalam pelaksanaan pembelajaran berdasarkan prinsif pendidikan islam yang bermutu internasional yang pada akhirnya dapat melahirkan generasi-generasi muda islam yang berakhlak, bertaqwa dan berpengetahuan global.

Jumat, 23 Oktober 2009

Hak Anak di Sekolah Dasar

Berikut akan dibahas mengenai hak anak di Sekolah Dasar. Disini diharapkan seorang guru dapat lebih memahami jenis-jenis hak anak dan butir-butir konvensi anak mana saja yang berhubungan dengan pendidikan. Serta lebih menyadari apa yang sebetulnya menjadi hak anak dan pendidikan seperti apa yang berkaitan dengan hak anak, serta lebih menyadari akan lingkungan pendidikan seperti apa yang diperlukan oleh anak. Dengan memahami hak-hak anak, diharapkan guru memiliki landasan dan panduan yang tepat dalam mengelola dan membimbing anak SD
Saat ini tanpa kita sadari banyak sekali terjadi pelanggaran hak anak, padahal sudah lebih 10 tahun pemerintah Indonesia mengesahkan Konvensi PBB tentang hak anak melalui Keputusan Presiden no. 36 tahun 1990 (Tunggal, 2000). Berbagai pelanggaran terhadap hak anak muncul di lingkungan kita, seperti anak korban konflik, kekerasan melalui tindakan pembunuhan, kekerasan seksual, dan lain-lain. Hal ini berkaitan dengan faktor penyebab pelanggaran hak anak tersebut, salah satunya berkaitan dengan pembahasan kali ini yaitu bahwa sistem pendidikan nasional kita belum mengadopsi nilai-nilai konvensi hak anak.
Hak anak dalam bidang pendidikan dapat dijumpai pada pasal 28 dan 29 dari konvensi hak anak. Selain itu pasal 31 dan 32 UUD’45 banyak mengupas mengenai pendidikan. Pasal 31 merupakan landasan dari Pendidikan Nasional yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa sistem pendidikan nasional diselenggarakan melalui 2 jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berkesinambungan. Yang termasuk dalam jalur pendidikan sekolah terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Tujuan dari pendidikan dasar adalah memberikan bekal kemampuan dasar kepada anak untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat manusia, serta mempersiapkan anak untuk mengikuti pendidikan menengah. Yang dimaksud dengan kemampuan dasar disini adalah baca – tulis – hitung; selain itu pendidikan di SD juga memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi anak sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Salah satu kendala yang muncul adalah dalam pelaksanaan hak anak, khususnya pendidikan dasar secara cuma-cuma bagi semua anak belum dilaksanakan sepenuhnya di negara kita. Mengapa demikian? Banyak faktor yang menyebabkan Negara Indonesia belum dapat menjamin pendidikan dasar secara menyeluruh dan cuma-cuma, yaitu diantaranya tingkat pendapatan Negara yang masih rendah yang membuat pemerintah mengalami kesulitan mengalokasikan dana untuk pendidikan yang layak. Kendala lainnya yang berhubungan dengan pelaksanaan hak anak adalah dalam kegiatan kurikuler yang masih perlu disempurnakan. Hal ini diketahui dari banyaknya keluhan bahwa beban kurikulum terlalu berat bagi anak didik dilihat dari segi muatan kurikuler maupun dari segi beban mata pelajaran yang terlalu banyak, serta jumlah buku dan kualitas tenaga pengajar. Oleh karena itu maka pelaksanaan hak anak dalam kegiatan kurikuler belum terlaksana secara tuntas.
Sesungguhnya, apabila dilihat dari segi isi, kurikulum pendidikan SD mengandung substansi muatan local yang berpotensi besar dalam mengimplementasikan hak anak dalam kegiatan kurikuler. Muatan lokal berfungsi memberikan peluang untuk mengembangkan kemampuan anak yang dianggap perlu oleh daerah yang bersangkutan. Muatan lokal dapat berupa bahasa daerah, bahasa Inggris, kesenian daerah, dan pengetahuan tentang berbagai ciri khas lingkungan alam sekitar, serta hal-hal lain yang dianggap perlu oleh sekolah atau daerah yang bersangkutan (dalam kurikulum Pendidikan Dasar, 1993). Dengan demikian, modal dasar untuk memenuhi hak anak dalam segi isi kurikuler dapat disesuaikan dengan daerah masing-masing dan dapat dengan mudah dikembangkan guru karena sesuai dengan kebiasaan dan budaya daerah masiing-masing.
Jika ditinjau lebih jauh dari pasal-pasal Konvensi Hak Anak yang berkaitan dengan pendidikan, ternyata Hammarberg (1997) telah mengemukakan pasal dari Konvensi Hak Anak yang juga dapat dijadikan prinsip umum yang menggambarkan lebih jelas tentang pasal 28 & 29, yakni pasal 2, 3, 6, dan 12.
Pasal 2 banyak membahas mengenai kesamaan hak. Kesamaan hak disini maksudnya adalah setiap anak berhak untuk mendapat kesempatan belajar yang sama, termasuk anak-anak yang mengalami hambatan dalam segi kemampuan dan fisik anak (tuna rungu atau tuna netra). Oleh karena itu pembelajaran memerlukan sarana yang memadai.
Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan Hammarberg seputar kesamaan hak anak dalam bidang pendidikan adalah:
1. Apakah semua anak memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi?
2. Apakah kualitas pendidikan yang ada sesuai bagi semua anak di seluruh daerah?
3. Apakah pendidikan dirancang sesuai dengan kebutuhan setiap anak?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tampaknya perlu ditelusuri lebih jauh agar pemenuhan hak anak dalam bidang pendidikan dapat terlaksana.
Pasal 3 menunjukkan bahwa kepentingan terbaik bagi anak akan merupakan pertimbangan utama. Hal ini dapat dilihat dari kesempatan anak dalam memilih kegiatan ekstra kurikuler.
Pasal 6 berkaitan dengan hak untuk hidup dan jaminan akan kelangsungan hidup dan pengembangan anak baik secara fisik maupun mental, emosional, kognitif, sosial budaya, sebagaimana yang telah tercantum dalam Kurikulum Pendidikan Dasar (1993), bahwa kegiatan belajar mengajar pada dasarnya mengembangkan kemampuan psikis dan fisik serta kemampuan penyesuaian sosial anak secara utuh.
Sehubungan dengan kurikulum yang menjadi beban bagi anak, semakin jelas bahwa kegiatan kurikuler yang ada sekarang justru tidak mengembangkan bakat maupun kemampuan anak secara optimal. Kurikulum yang padat juga dapat menghambat kepribadian anak sehingga banyak anak menjadi stres.
Pasal 12 menunjukkan adanya jaminan bahwa anak dapat membentuk maupun menyatakan pandangannya sendiri secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan anak dipertimbangkan sesuai dengan usia dan kematangannya. Oleh karena itu anak memiliki hak untuk didengar dan menyatakan pendapatnya. Dalam dunia pendidikan kita, anak belum dibiasakan untuk secara bebas mengemukakan pendapatnya, sehingga hal ini dapat mematahkan semangat anak untuk mengemukakan pendapat berdasarkan pemahamannya sendiri. Hal ini sangat penting dalam rangka mempersiapkan anak ke jenjang pendidikan selanjutnya.
Dari apa yang sudah dijelaskan, tampak bahwa pelaksanaan hak anak dalam kegiatan kurikuler belum optimal, sehingga perlu adanya perbaikan kurikulum. Perbaikan kurikulum dengan cara pemutakhiran kurikulum diharapkan dapat menunjang pengembangan pribadi, bakat, dan kemampuan anak secara optimal.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan hak anak:
1.Pendidikan dasar merupakan hal yang wajib diikuti oleh semua anak. Hal ini tidak terlaksana disebabkan oleh sikap orang tua yang tidak menghargai arti pendidikan atau karena alasan ekonomi dan lain-lain.
Berkaitan dengan kegiatan kurikuler, alasan yang tepat megnapa anak tidak mencicipi pendidikan dasar adalah kualitas pendidikan tidak tepat atau buruk.
2.Adanya kesempatan yang sama bagi semua anak untuk bersekolah atau mengikuti pendidikan. Dengan demikian anak-anak dari lingkungan yang bagaimana pun perlu mendapatkan pendidikan dan pengajaran; misalnya bagi anak jalanan atau yang bekerja, maupun anak yang berada dalam suatu institusi karena masalah kenakalannya, berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan yang dirasakan lebih efektif bagi anak-anak semacam ini adalah pendidikan non formal karena lebih aplikatif dan membantu mereka untuk lebih menyadari akan artinya pendidikan. Contohnya adalah Paket A yang setara dengan SD, Paket B yang setara dengan SLTP, dan Paket C yang setara dengan SLTA.
3.Untuk mengembangkan kepribadian, bakat, mental, dan kemampuan fisik secara optimal, diperlukan kurikulum yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari anak dan apa yang berkaitan dengan mereka, seperti hubungan sosial secara langsung, kebutuhan pangan, kesehatan dan lingkungannya. Anak perlu mengetahui dan memahami apa manfaat ia mempelajari sesuatu, misalnya mengapa anak SD harus mempelajari mengenai kebersihan, persahabatan atau kerja sama di pelajaran PPKn, adab makan di pelajaran Agama, maupun belajar menambah dan mengurangi di pelajaran Matematika.
4.Sekolah perlu mengajarkan kepada anak untuk lebih toleran dan hidup serasi dengan anak atau orang lain dari latar belakang budaya yang berbeda. Hal ini tercermin antara lain dalam pelaajran Agama, PPKn, IPS, Kesenian, maupun Olah Raga.
5.Mengembangkan metode belajar yang lebih berpusat pada anak. Metode belajar yang dirasakan lebih menyenangkan dan efektif bagi anak karena lebih aplikatif atau lebih sesuai dengan penerapan adalah metode “learning by doing”. Metode belajar melalui diskusi, bermain peran, bahkan permainan dirasakan lebih menyenangkan karena dapat merangsang kemampuan berpikir kritis dan kreativitas anak, sehingga anak tidak merasa tertekan. Kegiatan belajar semacam ini perlu diimbangi dengan fasilitas yang memadai, seperti guru yang kreatif, perpustakaan, dan lain-lain.
6.Kebersamaan banyak diperoleh dari lingkungan belajar yang bersifat demokratis. Selayaknya sekolah merupakan daerah yang bebas dari kekerasan yang dianggap sebagai senjata ampuh untuk penanaman disiplin bagi anak, karena memungkinkan anak menjadi takut atau tidak aman ke sekolah.
7.Partisipasi anak. Melalui kegiatan belajar mengajar anak diberi kesempatan untuk mengekspresikan dirinya dan mengemukakan pendapatnya, seperti tanya jawab atau diskusi mengenai suatu topik dari pelajaran tertentu berdasarkan pengalaman pribadi, akan merangsang partisipasi aktif dari anak. Dengan membiasakan mendengar pendapatnya, maka anak juga belajar bagaimana emnghargai pendapat orang lain.
8.Peran guru, orang tua, dan masyarakat.
Disini guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator dan menciptakan suasana yang lebih menghargai pendapat orang lain, serta menciptakan pembelajaran konstruktif, yang berkaitan dengan masyarakat dan lingkungan sekitar. Komunikasi antara pihak orang tua dan sekolah perlu ditingkatkan karena proses belajar pun banyak terjadi di lingkungan rumah. Selain itu lingkungan masyarakat juga berperan terhadap proses belajar anak karena berhubungan dengan apa yang diminati oleh anak.

Kamis, 22 Oktober 2009

Bagaimana Orang Dewasa Belajar

Agar mencapai tahap pembelajaran, anda seharusnya mengerti sesuatu tentang bagaimana anda belajar. Artikel berikut ini akan memperkenalkan kepada anda beberapa hal yang signifikan tentang bagaimana orang belajar.
Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan atau pengalaman dalam mendapatkan ilmu pengetahuan atau keahlian. Memori menegaskan suatu kapasitas dalam menyimpan, mengeluarkannya kembali dan berakting/ mengaktingkan ilmu pengetahuan tersebut. Belajar membantu kita untuk bergerak dari awam menuju pakar dan membuat kita mampu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan kemampuan.

Belajar memperkuat otak dengan membangun jalur-jalur baru dan meningkatkan koneksi yang kita andalkan ketika kita ingin untuk belajar lebih banyak lagi. Definisi yang lebih kompleks menambah kata-kata seperti pemahaman dan penguasaan melalui pengalaman atau belajar.

Secara ilmu alat-alat tubuh, belajar yaitu pembentukan kesatuan-kesatuan sel dan rentetan pase. Anak-anak belajar dengan membangun satuan-satuan ini dan rentetan-rentetan ini. Orang dewasa menghabiskan lebih banyak waktu dalam membuat tatanan-tatanan baru dari pada membentuk rentetan-rentetan yang baru. Pengalaman kita dan latar belakng kita membuat kita mampu untuk mempelajari konsep-konsep baru.

Pada tingkat syaraf, suatu ilmu yang terbentuk (dari pengalaman dan latar belakang) muncul dan terbentuk dari tatanan-tatanan yang sangat rumit sekali dari unsur-unsur sel, penguatan listrik, dan unsur-unsur kimia. Belajar membutuhkan energi, pembelajaran ulang bahkan membutuhkan lebih banyak energi lagi. Kita harus mengakses funsi otak yang lebih tinggi untuk melahirkan lebih banyak energi yang dibutuhkan dan melepaskan yang lama.

Diskusi kita disini memandang pembelajaran, dari sesuatu yang paling mendasar sampai pada sesuatu yang paling kompleks. Untuk menjadi: (1) adanya suatu peningkatan pada ilmu pengetahuan (2) menghafal informasi (3) mendapatkan ilmu pengetahuan untuk penggunaan yang praktis (4) mengabstrakkan arti dari apa yang kita lakukan (5) suatu proses yang membuat kita mampu untuk mengerti.

Suatu hal yang ajaib sekali, orang bisa belajar dari saat lahir. Pembelajaran dapat dan seharusnya merupakan suatu proses seumur hidup. Pembelajaran tidak seharusnya didefinisikan oleh apa saja yang terjadi di kehidupan awal di dalam hidup. Kita terus-menerus menjadikan setiap pengalaman menjadi sesuatu yang dapat diterima oleh akal sehat dan terus-menerus mencari arti. Kesimpulannya, kita terus belajar.

Pembelajaran yang bersifat menghafalkan, membuat kita frustasi karena otak menolak rangsangan yang tidak berarti. Ketika kita menuntut kapasitas alami otak untuk menyatukan informasi, bagaimanapun, kita dapat mengasimilasikan jumlah-jumlah yang tak berbatas atau tak terbatas.

Sesuatu yang anda senangi adalah, anda akan mengajarkan kata ‘Ah-ha’ ketika akhirnya anda mengetahui bahwa anda berhasil melewati suatu pembelajaran yang sulit.

Kita dapat belajar dari apa yang dapat ditangkap oleh pikiran pada usia kapanpun juga. Otak kita membangun dan memperkuat jalur syaraf, tak peduli dimanapun kita berada dan juga tidak peduli apa subjeknya atau konteksnya.

Dalam lingkungan bisnis dewasa ini, menemukan cara yang lebih baik untuk belajar akan mendorong organisasi jauh ke depan. Otak yang kuat akan menjadi bahan bakar terciptanya organisasi yang kuat. Kita harus mendayagunakan gaya alami kita kemudian membangun sistem untuk memuaskan kebutuhan. Hanya melalui proses pembelajaran secara individu kita dapat menciptakan kembali lingkungan kita dan diri kita sendiri.

REFERENSI

American heritage of the English language (1992 ed)

Harold D. Lasswell, The changing nature of human nature. American Journal of Psychoanalysis, 26 (2), p. 164. Quoted in Alvin Toffler (1970, Future Shock.

Robert M. Smith (1991, April) How people become effective learners. Adult Learning, p. 11

Robert L Steinbach (1993) The Adult Learner : Strategies for Success, Menlo Park, CA: Crisp Publications.

Rabu, 21 Oktober 2009

KONSEP DAN METODE PEMBELAJARAN UNTUK ORANG DEWASA

Abstrak
Membangun manusia pembangunan dapat terjadi kalau diberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pendidikan orang dewasa, sebab proses pembe1ajaran ini harus dikembangkan dengan cepat sesuai dengan lajunya pembangunan bangsa. Ulasan di seputar pendidikan di sekolah sudah sangat sering didiskusikan dengan herbagai kebijakan yang ditetapkan oleh pemerinah, akan tetapi di lapangan, tidak sedikit orang dewasa yang harus mendapat pendidikan baik melalui pendidikan melalui jalur sekolah maupun pendidikan luar sekolah, misalnya pendidikan dalam bentuk keterampilan, kursus-kursus, penataran dan sebagainya. Untuk membelajarkan orang dewasa melalui pendidikan orang dewasa dapat dilakukan dengan berhagai metoda dan strategi yang diperlukannya. Dalam hal ini, orang dewasa sebagai siswa dalam kegiatan belajar tidak dapat diperlakukan seperti anak-anak didik biasa yang sedang duduk di bangku sekolah tradisional. OIeh sebab ilu, harus dipahaini bahwa, orang dewasa yang tumbuh sebagai pribadi dan memiliki kematangan konsep diri bergerak dari ketergantungan seperti yang terjadi pada masa kanak-kanak menuju ke arah kemandirian atau pengarahan diri sendiri.
Kata kunci: Cara pembelajaran orang dewasa, pendidikan sekolah, pendidikan luar sekolah, kemandirian, pengarahan diri sendiri.



Pendahuluan
Salah satu aspek penting dalam pendidikan saat ini yang penlu mendapat perhatian adalah mengenai konsep pendidikan untuk orang dewasa. Tidak selamanya kita berbicara dan mengulas di seputar pendidikan murid sekolah yang relatif berusia muda. Kenyataan di lapangan, hahwa tidak sedikit orang dewasa yang harus mendapat pendidikan baik pendidikan informal maupun nonformal, misalnya pendidikan dalam bentuk keterampilan, kursus-kursus, penataran dan sebagainya. Masalah yang sering muncul adalah bagaimana kiat, dan strategi membelajarkan orang dewasa yang notabene tidak menduduki bangku sekolah. Dalam hal ini, orang dewasa sebagai siswa dalam kegiatan helajar tidak dapat diperlakukan seperti anak-anak didik biasa yang sedang duduk di bangku sekolah tradisional. Oleh sebab itu, harus dipahami bahwa, orang dewasa yang tumbuh sebagai pribadi dan memiliki kematangan konsep diri bergerak dari ketergantungan seperti yang terjadi pada masa kanak-kanak menuju ke arah kemandirian atau pengarahan diri sendiri. Kematangan psikologi orang dewasa sebagai pribadi yang mampu mengarahkan diri sendiri ini mendorong timbulnya kebutuhan psikologi yang sangat dalam yaitu keinginan dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi yang mengarahkan dirinya sendiri, bukan diarahkan, dipaksa dan dimanipulasi oleh orang lain. Dengan begitu apabila orang dewasa menghadapi situasi yang tidak memungkinkan dirinya menjadi dirinya sendiri maka dia akan merasa dirinya tertekan dan merasa tidak senang. Karena orang dewasa bukan anak kecil, maka pendidikan bagi orang dewasa tidak dapat disamakan dengan pendidikan anak sekolah. Perlu dipahami apa pendorong hagi orang dewasa belajar, apa hambatan yang dialaininya, apa yang diharapkannya, bagaimana ia dapat belajar paling baik dan sebagainya (Lunandi, 1987).
Pemahaman terhadap perkembangan kondisi psikologi orang dewasa tentu saja mempunyai arti penting bagi para pendidik atau fasilitator dalam mnenghadapi orang dewasa sebagai siswa. Berkembangnya pemahaman kondisi psikologi orang dewasa semacam itu tumbuh dalam teori yang dikenal dengan nama andragogi. Andragogi sebagai ilmu yang memiliki dimensi yang luas dan mendalam akan teori belajar dan cara mengajar. Secara singkat teori ini memberikan dukungan dasar yang esensial bagi kegiatan pembelajaran orang dewasa. Oleh sebab itu, pendidikan atau usaha pembelajaran orang dewasa memerlukan pendekatan khusus dan harus memiliki pegangan yang kuat akan konsep teori yang didasarkan pada asumsi atau pemahaman orang dewasa sebagai siswa.
Kegiatan pendidikan baik melalui jalur sekolah ataupun luar sekolah memiliki daerah dan kegiatan yang beraneka ragam. Pendidikan orang dewasa terutama pendidikan masyarakat bersifat non formal sebagian besar dari siswa atau pesertanya adalah orang dewasa, atau paling tidak pemuda atau remaja. Oleh sebab itu, kegiatan pendidikan memerlukan pendekatan tersendiri. Dengan menggunakan teori andragogi kegiatan atau usaha pembelajaran orang dewasa dalam kerangka pembangunan atau realisasi pencapaian cita-cita pendidikan seumur hidup dapat diperoleh dengan dukungan konsep teoritik atau penggunaan teknologi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Salah satu masalah dalam pengertian andragogi adalah adanya pandangan yang mengemukakan bahwa tujuan pendidikan itu bersifat mentransmisikan pengetahuan. Tetapi di lain pihak perubahan yang terjadi seperti inovasi dalam teknologi, mobilisasi penduduk, perubahan sistem ekonomi, dan sejenisnya begitu cepat terjadi. Dalam kondisi seperti ini, maka pengetahuan yang diperoleh seseorang ketika ia berumur 21 tahun akan menjadi usang ketika ia berumur 40 tahun. Apabila demikian halnya, maka pendidikan sebagai suatu proses transmisi pengetahuan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan modem (Arif, 1994).
Oleh karena itu, tujuan dan kajian/tulisan ini adalah untuk mengkaji berbagai aspek yang mungkin dilakukan dalam upaya membelajarkan orang dewasa (andragogi) sebagai salah satu altematif pemecahan masalah kependidikan, sebab pendidikan sekarang ini tidak lagi dirumuskan hanya sekedar sebagai upaya untuk mentransmisikan pengetahuan, tetapi dirumuskan sebagai suatu proses pendidikan sepanjang hayat (long life education).

Kajian Teori



Pengertian Andragogi

Andragogi berasal dan bahasa Yunani andros artinya orang dewasa, dan agogus artinya memimpin. lstilah lain yang kerap kali dipakai sebagai perbandingan adalah pedagogi yang ditarik dan kata paid artinya anak dan agogus artinya memimpin. Maka secara harfiah pedagogi herarti seni dan pengetahuan mengajar anak. Karena itu, pedagogi berarti seni atau pengetahuan mengajar anak, maka apabila memakai istilah pedagogi untuk orang dewasa jelas kurang tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Sementara itu, menurut (Kartini Kartono, 1997), bahwa pedagogi (lebih baik disebut sebagai androgogi, yaitu ilmu menuntun/mendidik manusia; aner, andros = manusia; agogus = menuntun, mendidik) adalah ilmu membentuk manusia; yaitu membentuk kepribadian seutuhnya, agar ia mampu mandiri di tengah lingkungan sosialnya.
Pada banyak praktek, mengajar orang dewasa dilakukan sama saja dengan mengajar anak. Prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pendidikan orang dewasa. Hampir semua yang diketahui mengenai belajar ditarik dari penelitian belajar yang terkait dengan anak. Begitu juga mengenai mengajar, ditarik dari pengalaman mengajar anak-anak misalnya dalam kondisi wajib hadir dan semua teori mengenai transaksi guru dan siswa didasarkan pada suatu difinisi pendidikan sebagai proses pemindahan kebudayaan. Namun, orang dewasa sebagai pribadi yang sudah matang mempunyai kebutuhan dalam hal menetapkan daerah belajar di sekitar problem hidupnya.
Kalau ditarik dari pengertian pedagogi, maka andragogi secara harfiah dapat diartikan sebagai seni dan pengetahuan mengajar orang dewasa. Namun, karena orang dewasa sebagai individu yang dapat mengarahkan diri sendiri, maka dalam andragogi yang lebih penting adalah kegiatan belajar dari peserta didik bukan kegiatan mengajar guru. Oleh karena itu, dalam memberikan definisi andragogi lebih cenderung diartikan sebagai seni dan pengetahuan membelajarkan orang dewasa.

Kebutuhan Belajar Orang Dewasa.

Pendidikan orang dewasa dapat. diartikan sebagai keseluruhan proses pendidikan yang diorganisasikan, mengenai apapun bentuk isi, tingkatan status dan metoda apa yang digunakan dalam proses pendidikan tersebut, baik formal maupun non-formal, baik dalam rangka kelanjutan pendidikan di sekolah maupun sebagai pengganti pendidikan di sekolah, di tempat kursus, pelatihan kerja maupun di perguruan tinggi, yang membuat orang dewasa mampu mengembangkan kemampuan, keterampilan, memperkaya khasanah pengetahuan, meningkatkan kualifikasi keteknisannya atau keprofesionalannya dalam upaya mewujudkan kemampuan ganda yakni di suatu sisi mampu mengem-bangankan pribadi secara utuh dan dapat mewujudkan keikutsertaannya dalam perkembangan sosial budaya, ekonoini, dan teknologi secara bebas, seimbang dan berkesinambungan.
Dalam hal ini, terlihat adanya tekanan rangkap bagi perwujudan yang ingin dikembangankan dalam aktivitas kegiatan di lapangan, pertama untuk mewujudkan pencapaian perkemhangan setiap individu, dan kedua untuk mewujudkan peningkatan keterlibatannya (partisipasinya) dalam aktivitas sosial dan setiap individu yang bersangkutan. Begitu pula pula, bahwa pendidikan orang dewasa mencakup segala aspek pengalaman belajar yang diperlukan oleh orang dewasa baik pria maupun wania, sesuai dengan bidang keahlian dan kemampuannya masing-masing.
Dengan demikian hal tersebut dapat berdampak positif terhadap keberhasilan pembelajaran orang dewasa yang tampak pada adanya perubahan perilaku ke arah pemenuhan pencapaian kemampuan/keterampilan yang memadai. Di sini, setiap individu yang berhadapan dengan individu lain akan dapat belajar hersama dengan penuh keyakinan. Perubahan perilaku dalam hal kerjasama dalam berbagai kegiatan, merupakan hasil dan adanya perubahan setelah adanya proses belajar, yakni proses perubahan sikap yang tadinya tidak percaya diri menjadi peruhahan kepercayaan diri secara penuh dengan menambah pengetahuan atau keterampilannya. Perubahan penilaku terjadi karena adanya perubahan (penambahan) pengetahuan atau keterampilan serta adanya perubalian sikap mental yang sangat jelas, dalam hal pendidikan orang dewasa tidak cukup hanya dengan memberi tambahan pengetahuan, tetapi harus dihekali juga dengan rasa percaya yang kuat dalam prihadiriya. Pertambahan pengetahuan saja tanpa kepercayaan diri yang kuat, niscaya mampu melahirkan perubahan ke arah positif herupa adanya pembaharuan baik fisik maupun mental secara nyata, menyeluruh dan berkesinambungam
Perubahan perilaku bagi orang dewasa terjadi melalui adanya proses pendidikan yang berkaitan dengan perkembangan dirinya sebagai individu, dan dalam hal ini, sangat memungkinkan adanya partisipasi dalam kehidupan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan diri sendiri, maupun kesejahteraan bagi orang lain, disehabkan produktivitas yang lebih meningkat. Bagi orang dewasa pemenuhan kebutuhannya sangat mendasar, sehingga setelah kebutuhan itu terpenuhi ia dapat beralih kearah usaha pemenuhan kebutuhan lain yang lebih diperlukannya sebagai penyempumaan hidupnya.
Setiap individu wajib terpenuhi kebutuhannya yang paling dasar (sandang dan pangan), sebelum ia mampu merasakan kehutuhan yang lebih tinggi sebagai penyempumaan kebutuhan dasar tadi, yakni kehutuhan keamanan, penghargaan, harga diri, dan aktualisasi dirinya. Bilamana kebutuhan paling dasar yakni kebutuhan fisik berupa sandang, pangan, dan papan belum terpenuhi, maka setiap individu belum membutuhkan atau merasakan apa yang dinamakan sebagai harga diri. Setelah kebutuhan dasar itu terpenuhi, maka setiap individu perlu rasa aman jauh dan rasa takut, kecemasan, dan kekhawatiran akan keselamatan dirinya, sebab ketidakamanan hanya akan melahirkan kecemasan yang herkepanjangan. Kemudian kalau rasa aman telah terpenuhi, maka setiap individu butuh penghargaan terhadap hak azasi dirinya yang diakui oleh setiap individu di luar dirinya. Jika kesemuanya itu terpenuhi barulah individu itu merasakan mempunyai harga diri.
Dalam kaitan ini, tentunya pendidikan orang dewasa yang memiliki harga diri dan dirinya membutuhkan pengakuan, dan itu akan sangat berpengaruh dalam proses belajamya. Secara psikologis, dengan mengetahui kebutuhan orang dewasa sebagai peserta kegiatan pendidikan/pelatihan, maka akan dapat dengan mudah dan dapat ditentukan kondisi belajar yang harus disediakan, isi materi apa yang harus diberikan, strategi, teknik serta metode apa yang cocok digunakan. Menurut Lunandi (1987) yang terpenting dalam pendidikan orang dewasa adalah: Apa yang dipetajari pelajar, bukan apa yang diajarkan pengajar. Artinya, hasil akhir yang dinilai adalah apa yang diperoleh orang dewasa dan pertemuan pendidikan/pelatihan, bukan apa yang dilalukukan pengajar, pelatih atau penceramah dalam pertemuannya.

Prinsip Pendidikan Orang Dewasa

Pertumbuan orang dewasa dimulai pertengahan masa remaja (adolescence) sampai dewasa, di mana setiap individu tidak hanya memiliki kecenderungan tumbuh kearah menggerakkan diri sendiri tetapi secara aktual dia menginginkan orang lain memandang dirinya sebagai prihadi yang mandiri yang memiliki identitas diri. Dengan begitu orang dewasa tidak menginginkan orang memandangnya apalagi memperlakukan dirinya seperti anak-anak. Dia mengharapkan pengakuan orang lain akan otonomi dirinya, dan dijamin kelentramannya untuk menjaga identitas dirinya dengan penolakan dan ketidaksenangan akan usaha orang lain untuk menekan, memaksa, dan manipulasi tingkah laku yang ditujukan terhadap dirinya. Tidak seperti anak-anak yang beberapa tingkatan masih menjadi objek pengawasan, pengendalian orang lain yaitu pengawasan dan pengendalian orang dewasa yang berada di sekeliling, terhadap dirinya.
Dalam kegiatan pendidikan atau belajar, orang dewasa bukan lagi menjadi obyek sosialisasi yang seolah-olah dibentuk dan dipengaruhi untuk menyesuaikan dirinya dengan keinginan memegang otoritas di atas dirinya sendiri, akan tetapi tujuan kegiatan belajar alau pendidikan orang dewasa tentunya lehih mengarah kepada pencapaian pemantapan identitas dirinya sendiri untuk menjadi dirinya sendiri,--- istilah Rogers dalam Knowles (1979), kegiatan belajar bertujuan mengantarkan individu untuk menjadi pribadi atau menemuan jati dirinya. Dalam hal belajar atan pendidikan merupakan prosess of becoining a person. Bukan proses pembentukan atau process of being shaped yaitu proses pengendalian dan manipulasi untuk sesuai dengan orang lain; atau kalau meminjam istilah Maslow (1966), belajar merupakan proses untuk mencapai aktualiasi diri (self-uchuslizatiun).
Seperti telah dikemukakan diatas hahwa dalam diri orang dewasa sebagai siswa yang sudah tumbuh kematangan konsep dirinya timbul kebutuhan psikologi yang mendalam yaitu keinginan dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi utuh yang mengarahkan dirinya sendiri. Namun tidak hanya orang dewasa tetapi juga pemuda atau remaja juga memiliki kebuluhan semacam itu. Sesuai teori Peaget (1959) mengenai perkembangan psikologi dan kurang lebih 12 tahun ke atas individu sudah dapat berfikir dalam bentuk dewasa yaitu dalam istilah dia sudah mencapai perkembangan pikir formal operation. Dalam tingkatan perkembangan ini individu sudah dapat memecahkan segala persoalan secara logik, berlikir secara ilmiah, dapat memecahkan masalah-masalah verbal yang kompleks atau secara singkat sudah tercapai kematangan struktur kognitifnya.
Dalam periode ini individu mulai mengembangkan pengertian akan diri (self) atau identitas (identitiy) yang dapat dikonsepsikan terpisah dari dunia luar di sekitamya. Berbeda dengan anak-anak, di sini remaja (adolescence) tidak hanya dapat mengerti keadaan benda-benda di dekatnya tetapi juga kemungkinan keadaan benda-benda itu di duga. Dalam masalah nilai-nilai remaja mulai mempertanyakan dan membanding-bandingkan Nilai-nilai yang diharapkan selalu dibandingkan dengan nilai yang aktual. Secara singkat dapat dikatakan remaja adalah tingkatan kehidupan dimana proses semacam itu terjadi, dan ini berjalan terus sampai mencapai kematangan.
Dengan begitu jelaslah kiranya bahwa pemuda (tidak hanya orang dewasa) memiliki kemampuan memikirkan dirinya sendiri, dan menyadari bahwa terdapat keadaan yang bertentangan antara nilai-nilai yang dianut dan tingkah laku orang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan sejak pertengahan masa remaja individu mengembangkan apa yang dikatakan “pengertian diri” (sense of identity).
Selanjutnya, Knowles (1970) mengembangkan konsep andragogi atas empat asumsi pokok yang berbeda dengan pedagogi. Keempat asumsi pokok itu adalah sebagai berikut. Asumsi Pertama, seseorang tumbuh dan matang konsep dirinya bergerak dan ketergantungan total menuju ke arah pengarahan diri sendiri. Atau secara singkat dapat dikatakan pada anak-anak konsep dirinya masih tergantung, sedang pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian konsep dirinya inilah orang dewasa membutuhkan penghargaan orang lain sebagai manusia yang dapat mengarahkan diri sendiri. Apabila dia menghadapi situasi dimana dia tidak memungkinkan dirinya menjadi self directing maka akan timbul reaksi tidak senang atau menolak.
Asumsi kedua, sebagaimana individu tumbuh matang akan mengumpulkan sejumlah besar pengalaman dimana hal ini menyebabkan dirinya menjadi sumber belajar yang kaya, dan pada waktu yang sama memberikan dia dasar yang luas untuk belajar sesuatu yang baru. Oleh karena itu, dalam teknologi andragogi terjadi penurunan penggunaan teknik transmital seperti yang dipakai dalam pendidikan tradisional dan lebih-lebih mengembangkan teknik pengalaman (experimental-technique). Maka penggunaan teknik diskusi, kerja laboratori, simulasi, pengalaman lapangan, dan lainnya lebih banyak dipakai.
Asumsi ketiga, bahwa pendidikan itu secara langsung atau tidak langsung, secara implisit atau eksplisit, pasti memainkan peranan besar dalam mempersiapkan anak dain orang dewasa untuk memperjuangkan eksistensinya di tengah masayarakat. Karena itu, sekolah dan pendidikan menjadi sarana ampuh untuk melakukan proses integrasi maupun disintegrasi sosial di tengah masyarakat (Kartini Kartono, 1992). Sejalan dengan itu, kita berasumsi bahwa setiap individu menjadi matang, maka kesiapan untuk belajar kurang dilentukan oleh paksaan akademik dan perkembangan biologisnya, tetapi lehih ditentukan oleh tuntutan-tuntutan tugas perkembangan untuk melakukan peranan sosialnya. Dengan perkataan lain, orang dewasa belajar sesuatu karena membutuhkan tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi peranannya apakah sebagai pekerja, orang tua, pimpinan suatu organisasi, dan lain-lain. Kesiapan belajar mereka bukan semata-mata karena paksaan akademik, tetapi karena kebutuhan hidup dan untuk melaksanakan tugas peran sosialnya.Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi masalah hidupnya.

Kondisi Pembelajaran Orang Dewasa

Pembelajaran yang diberikan kepada orang dewasa dapat efektif (lebih cepat dan melekat pada ingatannya), bilamana pembimbing (pelatih, pcngajar, penatar, instruktur, dan sejenisnya) tidak terlalu mendoininasi kelompok kelas, mengurangi banyak bicara, namun mengupayakan agar individu orang dewasa itu mampu menemukan altematif-altematif untuk mengembangkan kepribadian mereka. Seorang pembimbing yang baik harus berupaya untuk banyak mendengarkan dan menerima gagasan seseorang, kemudian menilai dan menjawab pertanyaan yang diajukan mereka. Orang dewasa pada hakekalnya adalah makhluk yang kreatif bilamana seseorang mampu menggerakkan/menggali potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam upaya ini, diperlukan keterampilan dan kiat khusus yang dapat digunakan dalam pembelajaran tersebut. Di samping itn, orang dewasa dapat dibelajarkan lebih aktif apabila mereka merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran, terutama apabila mereka dilibatkan memberi sumbangan pikiran dan gagasan yang membuat mereka merasa berharga dan memiliki harga diri di depan sesama temannya. Artinya, orang dewasa akan belajar lebih baik apabila pendapat pribadiriya dihormati, dan akan lebih senang kalau ia boleh sumbang saran pemikiran dan mengemukakan ide pikirannya, daripada pembimbing melulu menjejalkan teori dan gagasannya sendiri kepada mereka.
Oleh karena sifat belajar hagi orang dewasa adalah hersifat subjektif dan unik, maka terlepas dan benar atari salahnya, segala pendapat perasaan, pikiran, gagasan, teori, sistem nilainya perlu dihargai. Tidak menghargai (meremehkan dan menyampingkan) harga diri mereka, hanya akan mematikan gairah belajar orang dewasa. Namun demikian, pembelajaran orang dewasa perlu pula mendapatkan kepercayaan dart pembimbingnya, dan pada akhimya mereka harus mempunyai kepercayaan pada dirinya sendiri. Tanpa kepercayaan diri tersebut maka suasana belajar yang kondusif tak akan pemah terwujud.
Orang dewasa memiliki sistem nilai yang berbeda, mempunyai pendapat dan pendirian yang berheda. Dengan terciptanya suasana yang baik, mereka akan dapat mengemukakan isi hati dan isi pikirannya tanpa rasa takut dan cemas, walaupun mereka saling herbeda pendapat. Orang dewasa mestinya memiliki perasaan bahwa dalam suasana/ situasi belajar yang hagaimanapun, mereka boleh berbeda pendapat dan boleh berbuat salah tanpa dirinya terancam oleh sesuatu sanksi (dipermalukan, pemecatan, cemoohan, dll).
Keterbukaan seorang pembimbing sangat membantu bagi kemajuan orang dewasa dalam mengembangkan potensi pribadiriya di dalam kelas, atau di tempat pelatihan. Sifat keterbukaan untuk mengungkapkan diri, dan terbuka untuk mendengarkan gagasan, akan berdampak baik bagi kesehatan psikologis, dan pisis mereka. Di samping itu, harus dihindari segala bentuk akibat yang membuat orang dewasa mendapat ejekan, hinaan, atau diperma1ukan. Jalan terbaik hanyalah diciptakannya suasana keterbukaan dalam segala hal, sehingga berbagai altematif kebebasan mengemukakan ide/ gagasan dapat diciptakan.
Dalam hal lainnya, tidak dapat dinafikkan bahwa orang dewasa belajar sccara khas dan unik. Faktor tingkat kecerdasan, kepercayaan diri, dan perasaan yang terkendali harus diakui sebagai hak pribadi yang khas sehingga keputusan yang diambil tidak harus selalu sama dengan pribad i orang lain. Kebersamaan dalam kelompok tidak selalu harus sama dalam prihadi, sebab akan sangat membosankan kalau saja suasana yang seakan hanya mengakui satu kebenaran tanpa adanya kritik yang memperlihatkan perbedaan tersehut. Oleh sebab itu, latar belakang pendidikan, latar helakang kebudayaan, dan pengalaman masa lampau masing-masing individu dapat memberi wama yang berbeda pada setiap keputusan yang diambil.
Bagi orang dewasa, terciptanya suasana belajar yang kondusif merupakan suatu fasilitas yang mendorong mereka mau mencoba perilaku baru, herani tampil beda, dapat berlaku dengan sikap baru dan mau mencoba pengetahuan baru yang mereka peroleh. Walaupun sesuatu yang baru mengandung resiko terjadinya kesalahan, namun kesalahan, dan kekeliruan itu sendiri merupakan bagian yang wajar dan belajar.
Pada akhimya, orang dewasa ingin tahu apa arti dirinya dalam kelompok belajar itu. Bagi orang dewasa ada kecenderungan ingin mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Dengan demikian, diperlukan adanya evaluasi bersama oleh seluruh anggota kelompok dirasakannya herharga untuk bahan renungan, di mana renungan itu dapat mengevaluasi dirinya dan orang lain yang persepsinya bisa saja memiliki perbedaan

Pengaruh Penurunan Faktor Fisik Oraug Dewasa dalam Belajar

Proses belajar manusia berlangsung hingga ahkir hayat (long life education). Namun, ada korelasi negatif antara pertarubahan usia dengan kemampuan belajar orang dewasa. Artinya, setiap individu orang dewasa, makin bertambah usianya, akan semakin sukar baginya belajar (karena semua aspek kemampuan fisiknya semakin menurun). Misalnya daya ingat, kekuatan fisik, kemampuan menalar, kemampuan berkonsentrasi, dan lain-lain semuanya memperlihatkan penurunannya sesuai pertambahan usianya pula. Menurut Lunandi (1987), kemajuan pesat dan perkembangan berarti tidak diperoleh dengan menantikan pengalaman melintasi hidup saja. Kemajuan yang seimbang dengan perkembangan zaman harus dicari melalui pendidikan. Menurut Vemer dan Davidson dalam Lunandi (1987) ada enam faktor yang secara psikologis dapat menghambat keikutsertaan orang dewasa dalam suatu program pendidikan:



Dengan bertambahnya usia, titik dekat penglilhatan atau titik terdekat yang dapat dilihat secara jelas mulai hergerak makin jauh. Pada usia dua puluh tahun seseorang dapat melihat jelas suatu benda pada jarak 10 cm dari matanya. Sekitar usia empat puluh fahun titik dekat penglihatan itu sudah menjauh sampai 23 cm.

Dengan bertambahnya usia, titik jauh penglihatan atau titik terjauh yang dapat dilihat secara jelas mulai berkurang, yakni makin pendek. Kedua faktor ini perlu diperhatikan dalam pengadaan dan penggunaan bahan dan alat pendidikan.

Makin bertambah usia, makin besar pula jumlah penerangan yang diperlukan dalam suatu situasi belajar. Kalau seseorang pada usia 20 tahun memerlukan 100 Watt cahaya1 maka pada usia 40 tahun diperlukan 145 Watt, dan pada usia 70 tahun seterang 300 Watt baru cukup untuk dapat melihat dengan jelas.

Makin bertambah usia, persepsi kontras warna cenderung ke arah merah daripada spektrum. Hal ini disebabkan oleh menguningnya komea atau lensa mata, sehingga cahaya yang masuk agak terasing. Akibatnya ialah kurang dapat dibedakannya warna-warna lenmbut. Untuk jelasnya perlu digunakan warna-warna cerah yang kontras untuk alat-alat peraga.

Pendengaran atau kemampuan menerima suara mengurang dengan bertambahnya usia. Pada umumnya seseorang mengalami kemunduran dalam kemampuannya membedakan nada secara tajam pada tiap dasawarsa dalam hidupnya. Pria cenderung lebih cepat mundur dalam hal ini daripada wanita. Hanya 11 persen dan orang berusia 20 tahun yang mengalami kurang pendengaran. Sampai 51 persen dan orang yang berusia 70 tahun ditemukan mengalami kurang pendengaran.

Pemhedaan bunyi atau kemampuan untuk membedakan bunyi makin mengurang dengan bertambahnya usia. Dengan demikian, bicara orang lain yang terlalu cepat makin sukar ditangkapnya, dan hunyi sampingan dan suara di latar belakangnya bagai menyatu dengan bicara orang. Makin sukar pula membedakan bunyi konsonan seperti t, g, b, c, dan d.


Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orang dewasa dalam situasi belajar mempunyai sikap tertentu, maka purlu diperhatikan hal-hal tersebut di bawah ini:



Terciptanya proses belajar adalah suatu prose pengalaman yang ingin diwujudkan oleh setiap individu orang dewasa. Proses pembelajaran orang dewasa berkewajiban memotivasi/mendorong untuk mencari pengetahuan yang lebih tinggi.

Setiap individu orang dewasa dapat belajar secara efektif bila setiap individu mampu menemukan makna pribadi bagi dirinya dan memandang makna yang baik itu berhubungan dengan keperluan pribadinya.

Kadangkala proses pembelajaran orang dewasa kurang kondusif, hal ini dikarenakan belajar hanya diorientasikan terhadap peruhahan tingkah laku, sedang perubahan perilaku saja tidak cukup, kalau perubahan itu tidak mampu menghargai hudaya bangsa yang luhur yang harus dipelihara, di samping metode berpikir tradisional yang sukar diubah.

Proses pembelajaran orang dewasa merupakan hal yang unik dan khusus serta bersifat individual. Setiap individu orang dewasa memiliki kiat dan strategi sendiri untuk memperlajari dan menemukan pemecahan masalah yang dihadapi dalam pembelajaran tersebut. Dengan adanya peluang untuk mengamati kiat dan strategi individu lain dalam belajar, diharapkan hal itu dapat memperbaiki dan menyempurnakan caranya sendiri dalam belajar, sebagai upaya koreksi yang lebih efeklif.

Faktor pengalaman masa lampau sangat berpengaruh pada setiap tindakan yang akan dilakukan, sehingga pengalaman yang baik perlu digali dan ditumbuhkembangkan ke arah yang lebih bermanfaat.

Pengembangan intelektualitas seseorang melalui suatu proses pengalaman secara bertahab dapat diperluas. Pemaksimalan hasil belajaran dapat dicapai apabila setiap individu dapat memperluas jangkauan pola herpikimya.


Di satu sisi, helajar dapat diartikan sebagai suatu proses evolusi. Artinya penerimaan ilmu tidak dapat dipaksakan sekaligus begitu saja, tetapi dapat dilakukan secara bertahap melalui suatu urutan proses tertentu. Dalam kegiatan pendidikan, umumnya pendidik menentukan secara jauh mengenai materi pengetahuan dan keterampilan yang akan disajikan. Mereka mengatur isi (materi) ke dalam unit-unit, kemudian memilih alat yang paling efisien untuk menyanipaikan unit-unit dan materi tersebut, misalnya ceramah, membaca, pekerjaan laboratorium, film,, mendengar kaset dan lain-lain. Selanjutnya mengembangkan suatu rencana untuk menyampaikan unit-unit isi ini dalam suatu hentuk urutan.
Dalam andragogi, pendidik atau fasilitator mempersiapkan secara jauh satu perangkat prosedur untuk melibatkan siswa, untuk selanjutnya dalam prosesnya melibatkan elemen-elemen sebagai berikut: (a) menciptakan iklim yang mendukung belajar, (b) menciptakan mekanisme untuk perencanaan bersama, (c) diagnosis kehutuhan-kebutuhan belajar, (d) merumuskan tujuan-tujuan program yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar, (e) merencanakan pola pengalaman helajar, (f) melakukan pengalaman helajar ini dengan teknik-teknik dan materi yang memadai, dan (g) mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosa kembali kebutuhankebutuhan belajar.

Metode Pendidikan Orang Dewasa

Dalam pembelajaran orang dewasa banyak metode yang diterapkan. Untuk memberhasilkan pembelajaran semacam ini, apapun metode yang diterapkan seharusnya mempertimbangkan faktor sarana dan prasarana yang tersedia untuk mencapai tujuan akhir pembelajaran, yakni agar peserta dapat memiliki suatu pengalaman belajar yang bermutu. Merupakan suatu kekeliruan besar bilamana dalam hal ini, pembimbing secara kurang wajar menetapkan pemanfaatan metode hanya karena faktor pertimbangannya sendiri yakni menggunakan metode yang dianggapnya paling mudah, atau hanya disebabkan karena keinginannya dikagumi oleh peserta di kelas itu ataupun mungkin ada kecenderungannya hanya menguasai satu metode tertentu saja.
Penetapan pemilihan metode seharusnya guru mempertimbangkan aspek tujuan yang ingin dicapai, yang dalam hal ini mengacu pada garis besar program pengajaran yang dibagi dalam dua jenis:



Rancangan proses untuk mendorong orang dewasa mampu menata dan mengisi pengalaman baru dengan memmedomani masa lampau yang pernah dialami, misalnya dengan latihan keterampilan, melalui tanya jawab, wawancara, konsultasi, latihan kepekaan, dan lain-lain, sehingga mampu memberi wawasan baru pada masing-masing individu untuk dapat memanfaatkan apa yang sudah diketahuinya.

Proses pembelajaran yang dirancang untuk tujuan meningkatkan transfer pengetahuan baru, pengalaman baru, keterampilan baru, untuk mendorong masing-masing individu orang dewasa dapat meraih semaksimal mungkin ilmu pengetahuan yang diinginkannya, apa yang menjadi kebutuhannya, keterampilan yang diperlukannya, misalnya belajar menggunakan program komputer yang dibutuhkan di tempat ia bekerja.


Sejalan dengan itu, orang dewasa belajar lebih efektif apabila ia dapat mendengarkan dan berbicara. Lebih baik lagi kalau di samping itu ia dapat melihat pula, dan makin efektif lagi kalau dapat juga mengerjakan.
Fungsi bicara hanya sedikit terjadi pada waktu tanya jawab. Untuk metode diskusi bicara dan mendengarkan adalah seimbang. Dalam pendidikan dengan cara demonstrasi, peserta sekaligus mendengar, melihat dan berbicara. Pada saat latihan praktis peserta dapat mendengar, berbicara, melihal dan mengerjakan sekaligus, sehingga dapat diperkirakan akan menjadi paling efektif,

Implikasi Terhadap Pembelajaran Orang Dewasa

Usaha-usaha ke arah penerapan teori andragogi dalam kegiatan pendidikan orang dewasa telah dicobakan oleh beberapa ahli, berdasarkan empat asumsi dasar orang dewasa seperti telah dijelaskan di atas yaitu: konsep diri, akumulasi pengalaman, kesiapan belajar, dan orientasi belajar. Asumsi dasar tersebut dijabarkan dalam proses perencanaan kegiatan pendidikan dengan langkah-langkah sehagai berikut:



Menciptakan suatu struktur untuk perencanaan bersama. Secara ideal struktur semacam ini seharusrwa melibatkan semua pihak yang akan terkenai kegiatan pendidikan yang direncanakan, yaitu termasuk para peserta kegiatan belajar atau siswa, guru atau fasilitator, wakil-wakil lembaga dan masyarakat.

Menciptakan iklim belajar yang mendukung untuk orang dewasa belajar. Adalah sangat penting menciptakan iklim kerjasama yang menghargai antara guru dan siswa. Suatu iklim belajar orang dewasa dapat dikembangkan dengan pengaturan lingkungan phisik yang memberikan kenyamanan dan interaksi yang mudah, misalnya mengatur kursi atau meja secara melingkar, bukan berbaris-berbaris ke helakang. Guru lebih bersifat membantu bukan menghakimi.

Diagnosa sendiri kebutuhan belajamya. Diagnosa kebutuhari harus melibatkan semua pihak, dan hasilnya adalah kehutuhan bersama.

Formulasi tujuan. Agar secara operasional dapat dikerjakan maka perumusan tujuan itu hendaknya dikerjakan bersama-sama dalam deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diatas.

Mengembangkan model umum. ini merupakan aspek seni dan perencanaan program, dimana harus disusun secara harmonis kegiaan belajar dengan membuat kelompok-kelompok belajar baik kelompok besar maupun kelompok kecil.

Perencanaan evaluasi. Seperi halnya dalam diagnosa kebutuhan, dalam evaluasi harus sejalan dengan prinsip-prinsip orang dewasa, yaitu sebagai pribadi dan dapat mengarahkan diri sendiri. Maka evaluasi lebih bersifat evaluasi sendiri atau evaluasi hersama.


Aplikasi yang diuaraikan di atas sebenamya lebih bersifat prinsip-prinsip atau rambu-rambu sebagai kendali tindakan membelajarkan orang dewasa. Oleh karena itu, keberhasilannya akan lebih benyak lergantung pada setiap pelaksanaan dan tentunya juga tergantung kondisi yang dihadapi. Tapi, implikasi pengembangan teknologi atau pendekatan andragogi dapat dikaitkan terhadap penyusunan kurikulum atau cara mengajar terhadap mahasiswa. Namun, karena keterikatan pada sistem lembaga yang biasanya berlangsung, maka penyusunan program atau kurikulum dengan menggunakan andragogi akan banyak lebih dikembangkan dengan menggunakan pendekatan andragogi ini.



Kesimpulan dan Saran



Kesimpulan

Pendidikan atau belajar adalah sebagai proses menjadi dirinya sendiri (process of becoining) bukan proses untik dibentuk (proces of beings Imped) nunurut kehendak orang lain, maka kegiatan belajar harus melihatkan individu atau client dalam proses pemikiran apa yang mereka inginkan, mencari apa yang dapat dilakukan untuk memenuhi keinginan itu, menentukan tindakan apa yang harus dilakukan, dan merencanakan serta melakukan apa saja yang perlu dilakukan untuk mewujudkan keputusan itu. Dapat dikatakan disini tugas pendidik pada umumnya adalah menolong orang be1ajar bagaimana memikirkan diri mereka sendiri, mengatur urusan kehidupan mereka sendiri dan mempertimhangkan pandangan dan interest orang lain. Dengan singkat menolong orang lain untuk berkemhang dan matang. Dalam andragogi, keterlibatan orang dewasa dalam proses helajar jauh lehih besar, sebab sejak awal harus diadakan suatu diagnosa kebutuhan, merumuskan tujuan, dan mengevaluasi hasil belajar serta mengimplementasikannya secara bersama-sama

Saran

Pengembangan teknologi andragogi hanya dapat dilakukan apabila diyakini bahwa orang dewasa sebagai pribadi yang matang sudah dapat mengarahkan diri mereka sendiri, mengerti diri sendiri, dapat mengambil keputusan untuk sesuatu yang menyangkut dirinya. Tanpa ada keyakinan semacam itu kiranya tidak akan tumbuh pendekatan andragogi. Dengan kata lain andragogi tidak akan mungkin berkembang apabila meninggalkan ideal dasar orang dewasa sebagai pribadi yang mengarahkan diri sendiri. Bagi pengambil kebijakan dalam hal pembelajaran orang dewasa diharapkan mampu memberikan pertimbangan holistik ke arah pengembangan keterampilan dan pemngkatan sumber daya orang dewasa yang berkualitas.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmuddiputra, Enuh, & Atmaja, Bisar, Suyatna. (1986). Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: Karunika.

Arif, Zainuddin. (1994). Andragogi. Bandung: Angkasa.

Lunandi, A, G. (1987). Pendidikan orang dewasa. Jakarta: Gramedia.

Kartono, Kartini. (1992 ). Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis: Apakah Pendidikan Masih Diperlukun?. Bandung: Mandar Maju.di

- - - - ,(1997). Tinjauan Politik Mengenni Sistem Pendikan Nasional: Beberapa Kritik Dan Sugesti. Jakarta: Pradriya Paramtra

Knowles, Malcolm S. (1970). “The modetn practiesof adult aduce education, andragogy versus pedagogi”, New York : Association Press..

Piaget, J. (1 959) “The growth of logical thinking Jmm ehildood fo adolescence”. New York: Basic Books.

Tamat, Tisnowati. (1 984) Dari Pedagogik ke Andragogik, Jakarta: Pustaka Dian.

Drost, S.J.,(1998), Sekolah Mengajar atau Mendidik?, Kanisius, Yogyakarta

-------, (2005), Dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) Sampai MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Penerbit Buku Kompas, Jakarta

Durkheim, Emile, (1990), Pendidikan Moral (Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan), Erlangga, Jakarta.

Gie, The Liang (2004), Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta

Jadman, Darmanto (1986), Sekitar Masalah Kebudayaan, Alumni, Bandung
Oleh : Agus Marsidi
(Penulis adalah Dosen Jurusan PLS FIP UNM

Selasa, 20 Oktober 2009

Tips-tips Mendidik Anak Sejak Dini

Dari hasil pengamatan,wawancara dengan rekan kerja dan berdasarkan pengalaman sendiri,bahwa orang tua sangat besar peranya dalam mendidik anak, terutama pada anak-anak sejak kecil. Mendidik anak sejak dini sangat menentukan bagaimana perkembangan kedewasaan anak. Sebagai orang tua apapun tingkah lakunya akan dilihat oleh anak dan dijadikan contoh perilaku anak,baik yang baik maupun yang buruk sekalipun. Karena pada dasarnya anak berumur dibawah lima tahun rasa ingin tahu dan belajarnya sangat tinggi. Daya ingat bagi anak dibawah lima tahun sangat tajam dan sebagai orang tua sudah layaknya memberikan cotoh dalam kehidupan sehari-hari pada kegiatan-kegiatan yang positif. Sebagai contoh bila orang tua suka membaca, atau suka menulis atau suka berolah raga atau suka menonton film-film barat dan sebagainya,si anakpun cenderung akan mencontohnya. Karena itu berbanggalah orang tua bila bisa melakukan kegiatan-kegiatan positif seperti tersebut diatas sebagai contoh, nantinya akan menanamkan jiwa pada diri anak untuk suka menulis,menggambar,membaca dan lain-lain.
Berikut ini adalah beberapa tips mendidik anak sejak usia dini:
1.Berikan contoh dengan mengajaknya ikut serta pada kegiatan sehari-hari yang positif.
-Membersih ruangan rumah,Biasanya anak-anak yang suka bermain-main dengan mainanya akan membuat situasi berantakan di ruangan rumah, ajarkan pada anak untuk bisa membersihkan dan merapikan sendiri setelah selesai bermain.
-Membaca buku-buku bacaan. Buku-buku bacaan sebagai altenatif guru yang baik. Buku sebagai sumber ilmu yang tiada batas,banyak jenis buku yang bisa dibaca dan mebahas berbagai tema dan masalah.
-Membaca Majalah atau Koran,dengan membaca koran dan majalah akan menambah wawasan pada orang tua sehingga bisa mempunyai wawasan yang lebih luas dan bisa diajarkan.
-Membaca Kitab Suci.Dengan mendengarkan acaan kitab suci biasanya sianak akan memiliki spiritual yang lebih baik bila dewasa kelak.
-Menulis,Anak akan memperhatikan bila orang tua sedang menulis dan akan menirunya dengan coret-coret, biasanya didinding namun sebaiknya dibuku-buku yang telah disediakan orang tua,sehingga termasuk juga mengajarkan keapian dan kebersihan.
-Bagi keluarga yang punya halaman berumput, biasanya setiap bulan sekali rumput akan jadi panjang dan tidak beraturan, maka anak bisa diajari juga bagaimana merapikan halaman.
-Mencuci kendaraan,baik motor maupun mobil bila tidak terlalu kotor bisa dicuci sendiri dirumah, sekaligus mengajarkan anak bagaimana memperlakukan kendaraan.
-Mengajak kebengkel, biasanya anak akan senang bila diajak ikut serta kebengkel,dan biasanya akan menambah ide bagi si anak untuk lebih mengenal jenis kendaraan bermotor,bisa juga nanti menjadi idola sianak untuk berwiraswasta dengan membuka bengkel dan lain-lain.
2.Berikan contoh untuk mentaati waktu, Yaitu waktu bermain, waktu belajar dan waktu tidur. Biasanya anak dibawah lima tahun memerlukan waktu tidur lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa.Sehingga sebagai orang tua terutama Ibu harus bisa mengajarkan waktu-waktu kapan harus bermain dan kapan harus beristirahat. Hal ini dilakukan untuk kesehatan anak itu sendiri.
3.Menghindarkan anak-anak dari hal-hal yang bersifat buruk:
-Bertengkar didepan anak-anak, karena dengan bertengkar didepan anak-anak secara otomatis akan memberikan contoh kekerasan dalam keluarga didepan anak, sehingga bisa menimbulkan trauma psikis pada si anak itu sendiri.
-Membiarkan anak tidak disiplin, kadang didikan keras bisa membuat disiplin pada sianak,dengan dimanja anak tidak bisa mandii dan bertanggung jawab.
-Memukul anak secara langsung didepan anak-anak yang lain, akan mengakibatkan hilangnya rasa kepercayaan diri si anak.
-Bila Ayah sedang keras pada anak, dalam arti tujuan mendidik si ibu tidak boleh membela si anak, sebab bila dibela si anak tidak akan jera bila melakukan kesalahan. Sebaliknya bila Si Ibu sedang keras pada anak dalam arti mendidik,Sang ayah pun tidak boleh membela kesalahan pada anak,. Sehingga terjalin kerjasama mendidik anak yang baik dan seimbang.
-Jangan berikan tontonan baik berupa film-film kekerasan atau Sinotron drama yang bersifat cengeng dan mendramatisi, untuk menghindari anak dari sifat-sifat yang kurang baik dari dampak yang ditontonya.
4. Sisakan waktu bersama Anak-anak. Ditengah-tengah kesibukan sebagai orang tuan sisakan waktu untuk bermain bersama anak-anak,sehingga timbul rasa kasih sayang sekaligus pembelajaran pada anak.
5. Usia 7 tahun, bagi yang Moslem bila sampai belum Sholat ajarkan dengan sedikit keras, bisa dengan cambukan untuk mengingatkan anak agar segera sembahyang.
6. Diatas usia 7 tahun Anak akan bisa diberikan tangung jawab yang lebih,sehingga tidak terlalu merepotkan orang tua.
Semoga berhasil
Good Luck!

Senin, 19 Oktober 2009

Meningkatkan Kecerdasan Anak Balita dengan Cepat dan Pasti !

Tips Ampuh untuk Orangtua yang Keduanya Bekerja. Dengan memanfaatkan sedikit waktu yang anda punya di rumah, anak anda bisa tumbuh menjadi jauh lebih cerdas. oleh : Taufan Surana (taufan@balitacerdas.com)

Jika anda masih ingat dengan hasil penelitian terbaru yang dimuat
di website www.balitacerdas.com, disitu ditulis :

TIGA TAHUN PERTAMA dalam kehidupan anak merupakan

masa yang paling sensitif, yang akan SANGAT MENENTUKAN

perkembangan otak dan kehidupannya di masa mendatang.


Mengapa begitu ?

Bagian TERPENTING tubuh kita, yaitu OTAK, tumbuh dengan sangat pesat pada awal kehidupan, dan akan mencapai 70-80% pada 3 TAHUN PERTAMA !



Bayangkan ! Otak yang begitu penting ini ternyata sebagian besar ditentukan pada awal kehidupan kita. Saya sempat SHOCK membaca hasil penelitian ini ! Artinya, jika anda menginginkan anak anda tumbuh dengan kondisi yang TERBAIK, maka anda harus menginvestasikan waktu dan apapun pada 3 tahun pertama ini, lebih dari waktu yang lain.

Jika anda mengabaikan begitu saja rentang waktu 3 tahun pertama ini, maka anak anda tidak akan berkembang dengan maksimal, dan anak anda akan menjadi anak yang biasa-biasa saja.


Apakah itu yang anda inginkan ? Tentu saja tidak !


Jika kita sebagai orangtua bisa melakukan yang terbaik bagi anak, maka itulah KEWAJIBAN kita untuk memberikan HAK anak kita. Di buku berbahasa Jepang yang berjudul Anak Cerdas dengan IQ 200 Ditentukan oleh IBUNYA, dicantumkan hasil interview terhadap banyak sekali ibu yang berhasil mendidik anaknya menjadi sangat cerdas sekali.



Intinya, peran ibu yang BENAR pada 3 TAHUN PERTAMA akan sangat menentukan kecerdasan anaknya. Maksud kata yang BENAR disini, tidak ada hubungannya apakah sang ibu tersebut bekerja ataukah sebagai ibu rumah tangga secara full-time.



Disini saya akan sampaikan TIPS yang sangat AMPUH yang HARUS dilakukan oleh ibu, terutama ibu yang bekerja karena waktu bersama dengan anak sangat terbatas. Tetapi sebenarnya juga perlu diperhatikan oleh ibu rumah tangga yang full-time, karena biasanya, karena merasa punya waktu banyak dengan anak, tetapi justru tidak segera dilakukan dengan konsisten.


Apa saja tips tersebut ?


PERTAMA,


Berikan waktu 1 JAM KHUSUS setiap harinya, tanpa boleh diganggu gugat oleh kegiatan lain, untuk anak anda untuk berinteraksi dengan kegiatan yang efektif bagi perkembangan kecerdasannya.



Untuk memberikan gambaran yang nyata, saya terjemahkan saja garis besar salah satu hasil wawancara di buku yang saya sebutkan diatas tadi. Seorang ibu yang sekaligus wanita karir yang bernama Sakane berhasil mendidik anaknya, Akio (3 th 5 bln) mencapai IQ 198.

(catatan : IQ rata-rata anak pada umumnya adalah 90 s.d. 109).




Sebagai seorang wanita karir, Ms. Sakane terpaksa harus menitipkan Akio di TPA (Tempat Penitipan Anak) sejak usia 3 bulan, dari pagi dan dijemput jam 5:30 sore. Tiba di rumah biasanya sekitar jam 6 lebih. Setelah itu, sebelum menyiapkan makan malam pada jam 7:30, Ms. Sakane memberikan WAKTU KHUSUS selama 1 JAM kepada Akio untuk melakukan program pendidikan anak.


Ms. Sakane bercerita :

-----------


Karena saya bekerja, waktu 30 MENIT sebelum membawa Akio ke TPA dan 1 JAM setelah pulang ke rumah merupakan waktu yang SANGAT BERHARGA. Waktu 1 jam ini, jika saya melakukan hal-hal lain yang bermacam-macam akan menjadi waktu yang hilang begitu saja. Tetapi waktu 1 jam ini saya tentukan khusus untuk Akio, tanpa melakukan hal lain apapun juga. Saya gunting gambar-gambar binatang dan gambar yang menarik lainnya dari buku/majalah, kemudian saya buat kartu bergambar dan saya tunjukkan kepada Akio satu-per-satu.


Pada awalnya saya berpikir, apakah ada artinya saya mengajarkan hal-hal kecil ini. Tapi, karena saya pernah mendengar bahwa hal ini sangat baik untuk olah raga otak, maka saya teruskan juga. Anak saya sepertinya sangat senang sekali melihat gambar yang berubah dengan cepat dan terus-menerus, dia melihatnya dengan sungguh-sungguh. Pada awalnya saya khawatir apakah hal ini ada hasilnya, tetapi begitu Akio mulai bisa bicara, saya menjadi yakin dan berpikir, Oo.. ternyata dia mengerti !.


Setelah itu saya perkenalkan dengan DOTS CARD (kartu untuk belajar berhitung), dan menjadi mahir berhitung tambah-kurang-kali-bagi. Sekarang Akio sudah mulai bisa perhitungan akar dan persamaan tingkat tinggi. Sayapun menjadi bangga kepada diri saya sendiri.
Sekarang, jika saya pulang, dia langsung membawa dots card dan berkata,


Mainan ini yoook....

----------



Dari situ kita bisa melihat bahwa jika waktu yang sebentar itu hanya untuk bermain yang tidak jelas, maka waktu tersebut akan hilang begitu saja. Dengan hal-hal seperti diatas, akan besar sekali manfaat yang diperoleh oleh anak kita. Pengalaman saya sendiri, setelah beberapa bulan menerapkan hal yg sama kepada kedua anak saya, Rihan (4 th) dan Afi (1 th 4 bln), hasilnya cukup mulai kelihatan.


Rihan sudah sangat lancar membaca Bahasa Jepang (huruf Hiragana dan Katakana) sejak usia 3 tahun. Untuk Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris, kelihatan berkembang dengan lebih baik berkat penerapan kartu bergambar tersebut (istilah populer dalam pendidikan anak adalah FLASH CARD).

Minggu, 18 Oktober 2009

Senyum Bayi Meningkatkan Kecerdasan Otak Ibu

Anda pasti tidak menyangka, bahwa senyuman bayi anda ternyata bisa meningkatkan kecerdasan otak anda. Hal tersebut dibuktikan oleh Lane Strathearn, seorang dokter dari Baylor College of Medicine, Houston, Amerika. Menurut risetnya, senyum bayi adalah stimulus atau rangsangan yang kuat bagi otak ibu.

Saat bayi tersenyum, sistem dopaminergic di dalam jaringan otak ibu akan langsung bekerja aktif dan mempengaruhi tingkat kecerdasan otak Namun, kerja otak ini hanya terjadi jika senyuman tersebut datang dari bayi anda sendiri bukan bayi orang lain. Sebaliknya bayi yang tidak tersenyum atau hanya menampilkan wajah netral atau bahkan sedih, secara otomatis tidak akan menimbulkan reaksi tersebut pada otak ibu nya.

Selain mampu meningkatkan kecerdasan otak, senyuman tersebut ternyata juga mampu menghangatkan dan meluluhkan hati sang ibu. Ekspresi bahagia bayi juga dapat menimbulkan efek luar biasa pada otak ibu yang mungkin dapat dianalogikan sebagai ekstasi pembangkit energi.

Itulah sebabnya, meskipun anda lelah setelah beraktivitas mengurus rumah tangga atau bekerja dikantor, senyuman bayi anda dapat meringankan perasaan lelah tersebut. Ditambah lagi bila anda melihat berbagai tingkah pola bayi anda yang menggemaskan dan mengagumkan serta tawa renyahnya yang bisa meluluhkan perasaan lelah anda. Bahkan, bukan tak mungkin jika perasaan tersebut akan membangkitkan reaksi otak yang membuat kecerdasan anda meningkat.

Jika anda ingin selalu membawa kegembiraan pada hari-hari anda, cobalah terapi berikut ini. Sering-seringlah memotret dan mengabadikan kelucuan, senyuman, tingkah pola dan tawa bayi anda lewat media foto maupun video. Dengan memandang aksi dan gambar foto si kecil tersebut, anda pasti akan merasakan perasaan yang menyenangkan dan gembira. Selamat menikmati indahnya menjadi seorang ibu!.

Sabtu, 17 Oktober 2009

15 Cara Meningkatkan Kecerdasan Bayi

Orangtua mana yang tidak ingin melihat anaknya tumbuh cerdas? Tentu Anda juga ingin bukan? Karena itu, maksimalkanlah potensi kecerdasan si kecil sejak bayi. Para pakar perkembangan bayi percaya, tahun-tahun pertama si kecil adalah masa-masa emas yang sangat penting untuknya mempelajari berbagai macam hal. Untungnya, Anda sebenarnya tidak memerlukan alat belajar yang mahal untuk menstimulasi kecerdasannya. Justru sarana terbaik yang dia butuhkan adalah Anda sendiri. Interaksi Anda dengan dia setiap harilah yang memberi kontribusi begitu besar bagi perkembangan otaknya.

Berikut kami siapkan 15 cara mudah, tepat dan menyenangkan untuk membantu bayi Anda tumbuh cerdas.

1.Pentingnya ASI.
Penelitian menunjukkan anak yang diberi ASI memiliki IQ lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang diberi susu formula. Karena itu, usahakanlah untuk menyusui sendiri bayi Anda selama mungkin. Lagipula memberikan ASI pada bayi sangat baik untuk membangun kedekatan emosi antara Anda dengannya. Lakukanlah sambil mengajaknya bicara, bernyanyi atau menciuminya.

2.Kontak mata sesering mungkin.
Saat mata bayi Anda terbuka, usahakanlah untuk terus menatap matanya karena ia sudah mulai dapat mengenali wajah sejak dini. Dan mengenali wajah Anda adalah yang terpenting.

3.Bermain dengan cermin. Biarkan si kecil menatap dirinya di dalam cermin. Pertama-tama mungkin dia berpikir kalau yang dia lihat adalah anak kecil lain. Tapi lama-kelamaan dia akan mencoba membuat ?anak kecil? itu tersenyum, melambaikan tangan, menyentuh dan lain sebagainya.
4.Mari bernyanyi.
Beberapa riset menunjukkan, mempelajari irama musik berhubungan signifikan dengan kemampuan belajar matematika. Karena itu mulailah untuk menyanyikan atau memainkan sebanyak mungkin lagu dan musik untuknya dari Handel, sampai lagu-lagu Justin Timberlake. Kreatiflah dalam memanfaatkan setiap kesempatan, misalnya saat memandikan atau mengganti popoknya.

5.Membacakan buku.
Kegiatan sangat penting untuk bayi. Di usia yang dini ia sudah mulai dapat mengenali berbagai kata yang Anda bacakan beberapa kali untuknya. Tentu ini sangat baik untuk membantunya mempelajari bahasa.

6.Bermain petak umpet.
Permainan ini tak hanya akan membuatnya tertawa-tawa senang, tapi pada saat yang sama dia bisa belajar bahwa sesuatu bisa menghilang dan kembali lagi.

7.Satu, dua, tiga,?
Cobalah untuk menghitung apa saja yang Anda dan si kecil lihat, seperti mainan-mainannya, anak tangga di rumah, makanan kecil yang dimakannya, buku-buku yang tersusun di lemari, bunga di halaman dan lain sebagainya. Jika Anda melakukannya berarti Anda sedang mengajari si kecil mengenal konsep matematika sederhana.

8.Jalan-jalan yuk!
Ajak si kecil untuk menikmati dunia luar, berbelanja misalnya. Suara, warna-warni yang dilihat, pemandangan, orang-orang yang dilihatnya menyediakan hiburan, pengetahuan dan pengalaman berbeda untuknya.

9.Story time.
Pilih salah satu cerita favoritnya dan gantilah nama karakter di dalamnya dengan namanya untuk membuat saat bercerita jadi menarik. Story telling sangat baik untuk mengembangkan imajinasi si kecil dan membantunya mengeksplorasi banyak hal.

10.Memaksimalkan Story Telling.
Jangan hanya membacakan cerita secara pasif untuknya. Berinteraksilah secara aktif dengan mengajukan beberapa pertanyaan sederhana yang berhubungan dengan cerita. Pertanyaan seperti ?Apakah kamu pernah melihat bunga merah sebelumnya?? atau ?Mengapa Koko mau sekolah?? bisa jadi inspirasi untuk Anda.

11.Tunjuk sana, tunjuk sini.
Manfaatkan setiap kesempatan untuk belajar memperkenalkan berbagai hal padanya. Saat berjalan-jalan tunjukkanlah berbagai benda seperti ?Lihat ada anak kucing!? atau ?Apakah kamu lihat pohon besar itu??

12.Waktunya menonton.
Bersama si kecil, tontonlah koleksi video yang merekam dirinya dengan berbagai aktivitas dan peristiwa, misalnya saat ia mulai belajar berguling, duduk, berdiri, bermain dengan Anda atau kakeknya, mandi dan lain-lain. Jangan lupa menyelipkan narasi untuk membangun memori dan kemampuan berbahasanya.

13.Meal time.
Sekali-kali, biarkan si kecil bermain-main dengan dengan makananya. Biarkan dia memegang dan merasakan berbagai tekstur makanan dan rasanya. Perkenalkan juga dia dengan berbagai jenis sayuran, buah dan warna-warnanya.

14.Sebab dan akibat.
Untuk mengajarinya konsep sebab dan akibat Anda dapat mempergunakan apa yang ada di rumah. Misalnya dengan mengatakan, ?Mama akan matikan lampunya sekarang ya..,? sesaat sebelum Anda mematikan lampu. Dari situ dia akan belajar, jika lampu dimatikan ternyata ruangan akan menjadi gelap.

15.Bantu Mama Yuk?.
Libatkan si kecil untuk membantu Anda. Dia bisa lho membantu Anda menyortir pakaian yang putih dengan yang berwarna atau memilih pakaian mana saja yang menjadi miliknya.